Kamis, 31 Maret 2011

upah menurut Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun & Teori Ekonomi
Buat halaman ini dlm format PDF
Cetak halaman ini
Kirim halaman ini ke teman via E-mail


Ditulis oleh didinkaem   
Tuesday, 13 March 2007
ImageHalal Guide -- Ibnu Khaldun dalam buku karyanya “Muqaddimah” latar belakang belum layak
mengemukakan sebuah teori “Model Dinamika” yang mempunyai pandangan jelas bagaimana faktor-faktor dinamika sosial, moral, ekonomi, dan politik saling berbeda namun saling berhubungan satu dengan lainnya bagi kemajuan maupun kemunduran sebuah lingkungan masyarakat atau pemerintahan sebuah wilayah (negara). Ibnu Khaldun telah menyumbangkan teori produksi, teori nilai, teori pemasaran, dan teori siklus yang dipadu menjadi teori ekonomi umum yang koheren dan disusun dalam kerangka sejarah. Dalam penentuan harga di pasar atas sebuah produksi, faktor yang sangat berpengaruh adalah permintaan dan penawaran. Ibnu Khaldun menekankan bahwa kenaikan penawaran atau penurunan permintaan menyebabkan kenaikan harga, demikian pula sebaliknya penurunan penawaran atau kenaikan permintaan akan menyebabkan penurunan harga. Penurunan harga yang sangat drastis akan merugikan pengrajin dan pedagang serta mendorong mereka keluar dari pasar, sedangkan kenaikan harga yang drastis akan menyusahkan konsumen. Harga “danai” dalam kasus seperti ini sangat diharapkan oleh kedua belah pihak, karena ia tidak saja memungkinkan para pedagang mendapatkan tingkat pengembalian yang ditolerir oleh pasar dan juga mampu menciptakan kegairahan pasar dengan meningktakan penjualan untuk memperoleh tingkat keuntungan dan kemakmuran tertentu. Akan tetapi, harga yang rendighgehgrjewgh dibutuhkan pula, karena memberikan kelapangan bagi kaum miskin yang menjadi mayoritas dalam sebuah populasi
Dengan demikian, tingkat harga yang stabil dengan biaya hidup yang relatif rendah menjadi pilihan bagi masyarakat dengan sudut pandang pertumbuhan dan keadilan dalam perbandingan masa inflasi dan deflasi. Inflasi akan merusak keadilan, sedangkan deflasi mengurangi insentif dan efisiensi. Harga rendah untuk kebutuhan pokok seharusnya tidak dicapai melalui penetapan harga baku oleh negara karena hal itu akan merusak insentif bagi produksi. Faktor yang menetapkan penawaran, menurut Ibnu Khaldun, adalah permintaan, tingkat keuntungan relatif, tingkat usaha manusia, besarnya tenaga buruh termasuk ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki, ketenangan dan keamanan, dan kemampuan teknik serta perkembangan masyarakat secara keseluruhan. Jika harga turun dan menyebabkan kebangkrutan modal menjadi hilang, insentif untuk penawaran menurun, dan mendorong munculnya resesi, sehingga pedagang dan pengrajin menderita. Pada sisi lain, faktor-faktor yang menentukan permintaan adalah pendapatan, jumlah penduduk, kebiasaan dan adat istiadat masyarakat, serta pembangunan dan kemakmuran masyarakat secara umum.
Menurut Ibnu Khaldun, seorang individu tidak akan dapat memenuhi seluruh kebutuhan ekonominya seorang diri, melainkan mereka harus bekerjasama dengan pembagian kerja dan spesialisasi. Apa yang dapat dipenuhi melalui kerjasama yang saling menguntungkan jauh lebih besar daripada apa yang dicapai oleh individu-individu secara sendirian. Dalam teori modern, pendapat ini mirip dengan teori comparative advantage.
Negara merupakan faktor penting dalam produksi, yakni melalui pembelanjaannya yang akan mampu meningkatkan produksi dan melalui pajaknya akan dapat melemahkan produksi. Pemerintah akan membangun pasar terbesar untuk barang dan jasa yang merupakan sumber utama bagi semua pembangunan. Penurunan belanja negara tidak hanya menyebabkan kegiatan usaha menjadi sepi dan menurunnya keuntungan, tetapi juga mengakibatkan penurunan dalam penerimaan pajak. Semakin besar belanja pemerintah, semakin baik perekonomian karena belanja yang tinggi memungkinkan pemerintah untuk melakukan hal-hal yang dibutuhkan bagi penduduk dan menjamin stabilitas hukum, peraturan, dan politik. Oleh karena itu, untuk mempercepat pembangunan kota, pemerintah harus berada dekat dengan masyarakat dan mensubsidi modal bagi mereka seperti layaknya air sungai yang membuat hijau dan mengaliri tanah di sekitarnya, sementara di kejauhan segalanya tetap kering. 
Faktor terpenting untuk prospek usaha adalah meringankan seringan mungkin beban pajak bagi pengusaha untuk menggairahkan kegiatan bisnis dengan menjamin keuntungan yang lebih besar (setelah pajak). Pajak dan bea cukai yang ringan akan membuat rakyat memiliki dorongan untuk lebih aktif berusaha sehingga bisnis akan mengalami kemajuan. Pajak yang rendah akan membawa kepuasan yang lebih besar bagi rakyat dan berdampak kepada penerimaan pajak yang meningkat secara total dari keseluruhan penghitungan pajak.  
Kemudian, dengan berlalunya waktu, kebutuhan-kebutuhan negara akan meningkat dan nilai pajak naik untuk meningkatkan hasil. Apabila kenaikan ini berlangsung perlahan-lahan rakyat akan terbiasa, namun pada akhirnya ada akibat kurang baik terhadap insentif sehingga aktivitas usaha mengalami kelesuhan dan penurunan, demikian pula terhadap hasil perpajakannya. 
Perekonomian yang makmur di awal suatu pemerintahan menghasilkan penerimaan pajak yang lebih tinggi dari tarif pajak yang lebih rendah, sementara perekonomian yang mengalami depresi akan menghasilkan penerimaan pajak yang lebih rendah dengan tarif yang lebih tinggi. Alasan terjadinya hal tersebut adalah rakyat yang mendapatkan perlakuan tidak adil dalam kemakmuran mereka akan mengurangi keinginan mereka untuk menghasilkan dan memperoleh kemakmuran.
Apabila keinginan itu hilang, maka mereka akan berhenti bekerja karena semakin besar pembebanan maka akan semakin besar efek terhadap usaha mereka dalam berproduksi. Akhirnya, jika rakyat enggan menghasilkan dan bekerja, maka pasar akan mati dan kondisi rakyat akan semakin memburuk serta penerimaan pajak juga akan menurun. Oleh karena itu, Ibnu Khaldun menganjurkan keadilan dalam perpajakan. Pajak yang adil sangat berpengaruh terhadap kemakmuran suatu negara. Kemakmuran cenderung bersirkulasi antara rakyat dan pemerintah, dari  pemerintah ke rakyat, dan dari rakyat ke pemerintah, sehingga pemerintah tidak dapat menjauhkan belanja negara dari rakyat karena akan mengakibatkan rakyat menjauh dari pemerintah. 
Kontribusi Ibnu Khaldun dalam pengembangan ilmu pengetahuan cukup signifikan, namun sayang beliau lahir pada saat dunia Islam mulai mengalami kemunduran. Menurut Chapra (2001) kemunduran umat Islam dimulai sejak abad ke 12 ditandai dengan kemerosoatan moralitas, hilangnya dinamika dalam Islam setelah munculnya dogmatisme dan kekakuan berfikir, kemunduran dalam aktivitas intelektual dan keilmuan, pemberontakan-pemberontakan lokal dan perpecahan di antara umat, peperangan dan serangan dari pihak luar, terciptanya ketidakseimbangan keuangan dan kehilangan rasa aman terhadap kehidupan dan kekayaan, dan faktor-faktor lainnya yang mencapai puncaknya pada abad ke 16 pada masa Dinasti Mamluk Ciscassiyah yang penuh korupsi sehingga mempercepat proses kemunduran tersebut.  
Kemajuan dan kemunduran yang dialami oleh umat Islam itu, bukanlah seperti sebuah garis lurus, tetapi naik-turun dan berlangsung beberapa abad lamanya. Berbagai upaya dan usaha telah dilakukan guna menghentikan kemunduran itu, namun karena sebab utama tetap ada, maka kemerosotan terus berlangsung hingga saat ini. Faktor utama untuk menghindari kemunduran tersebut adalah dengan kembali kepada ajaran Islam yang sesungguhnya yang berorientasi kepada falah oriented, yakni menuju kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat.  
Penulis: MERZA GAMAL (Pengkaji Sosial Ekonomi Islami)

Pemikiran Ibnu Khaldun (1)
Buat halaman ini dlm format PDF
Cetak halaman ini
Kirim halaman ini ke teman via E-mail

Ditulis oleh Administrator   
Thursday, 31 August 2006
Dinamika Sosioekonomi dan Politik dalam Pemikiran Ibnu Khaldun (bagian 1)
ImageArtikel berikut mengeksplorasi teori-teori dan gagasan Ibnu Khaldun tentang sebab-sebab kejayaan dan kemunduran peradaban. Dengan penekanan karakter metodologi Ibnu Khaldun pada dinamika dan meliputi interdisiplin, pemikiran Ibnu Khaldun menunjukkan bagaimana faktor-faktor moral, sosial, ekonomi, politik, geografis dan budaya mengambil tempat yang tepat dalam skema Ibnu Khaldun. Tidak seperti kajian lain tentang Ibnu Khaldun, artikel ini menyajikan gagasan Ibnu Khaldun dalam terminologi kontemporer yang sekaligus membuat analisa dan rumusannya relevan dalam konteks kekinian. Artikel ini juga mengkaji peran sentral kesejahteraan, keadilan dan pembangunan dengan kepiawaian seorang negarawan, dan menyediakan model yang tepat untuk welfare-state Islam saat ini dimana tujuannya meliputi material dan moral well-being bagi semua warganya.
Ibnu Khaldun hidup pada masa antara 1332-1405 M ketika peradaban Islam dalam proses penurunan dan disintegrasi. Khalifah Abbasiyah di ambang keruntuhan setelah penjarahan, pembakaran, dan penghancuran Baghdad dan wilayah disekitarnya oleh bangsa Mongol pada tahun 1258, sekitar tujuh puluh lima tahun sebelum kelahiran Ibnu Khaldun. Dinasi Mamluk (1250-1517), selama periode kristalisasi gagasan Ibnu Khaldun, hanya berkontribusi pada percepatan penurunan peradaban akibat korupsi dan inefisiensi yang mendera kekhalifahan, kecuali pada masa awal-awal periode pertama yang singkat dari sejarah kekhalifahan Mamluk. [Periode pertama Bahri/Turki Mamluk (1250-1382) yang banyak mendapat pujian dalam tarikh, periode kedua adalah Burji Mamluk (1382-1517), yang dikelilingi serangkaian krisis ekonomi yang parah]

Sebagai seorang muslim yang sadar, Ibnu Khaldun tekun mengamati bagaimana caranya membalik atau mereversi gelombang penurunan peradaban Islam. Sebagai ilmuwan sosial, Ibnu Khaldun sangat menyadari bahwa reversi tersebut tidak akan dapat tegambarkan tanpa menggambarkan pelajaran-pelajaran dari sejarah terlebih dahulu untuk menentukan faktor-faktor yang membawa sebuah peradaban besar melemah dan menurun drastis.

Muqaddimah, yang diselesaikan pada November 1377 adalah buah karya dari cita-cita besarnya tersebut. Muqaddimah secara harfiah bararti 'pembukaan' atau 'introduksi' dan merupakan jilid pembuka dari tujuh jilid tulisan sejarah, yang secara bebas diterjemahkan ke dalam buku "The Book of Lessons and the Record of Cause and Effect in the History of Arabs, Persians and Berbers and Their Powerful Contemporaries." Muqaddimah mencoba untuk menjelaskan prinsip-prinsip yang menentukan kebangkitan dan keruntuhan dinasti yang berkuasa (daulah) dan peradaban ('umran). Tetapi bukan hanya itu saja yang dibahas, Muqaddimah juga berisi diskusi ekonomi, sosiologi dan ilmu politik, yang merupakan kontribusi orisinil Ibnu Khaldun untuk cabang-cabang ilmu tersebut. Ibnu Khaldun juga layak mendapatkan penghargaan atas formula dan ekspresinya yang lebih jelas dan elegan dari hasil karya pendahulunya atau hasil karya ilmuwan yang sejaman dengannya. Wawasan Ibnu Khaldun terhadap beberapa prinsip-prinsip ekonomi sangat dalam dan jauh kedepan sehingga sejumlah teori yang dikemukakannya hampir enam abad yang lalu sampai sekarang tidak diragukan merupakan perintis dari beberapa formula teori modern. 
Model Dinamika Interdisiplin
Model Ibnu Khaldun dapat disarikan --walaupun tidak secara keseluruhan-- dalam nasihat --berikut-- yang diberikannya kepada kekhalifahan:
Kekuatan penguasa (Al-Mulk) tidak akan terwujud kecuali dengan implementasi Syari'ah
Syari'ah tidak dapat terimplementasi kecuali dengan Penguasa (Al-Mulk)
Penguasa tidak dapat memperoleh kekuatan kecuali melalui Rakyat (ar-rijal)
Rakyat tidak dapat dipelihara kecuali dengan Kekayaan (al-mal)
Kekayaan tidak dapat diperoleh kecuali melalui Pembangunan (al-imarah)
Pembangunan tidak dapat dicapai kecuali melalui Keadilan (al-'adl)
Keadilan adalah kriteria (al-mizan) Alloh menilai hamba-Nya
dan
Penguasa bertanggungjawab mengaktualisasikan Keadilan.

Nasihat Ibnu Khaldun disebut ' eight wise principles [kalimat hikamiyyah]', atau delapan prinsip kebijakan politik Ibnu Khaldun, masing-masing faktor berhubungan satu sama lain secara mutual, dalam formula sirkular tersebut, titik awal dan titik akhirnya tidak dapat dibedakan. Kalimat Hikamiyyah merefleksikan karakter analisa Ibnu Khaldun yang dinamis dan interdisiplin. Interdisiplin karena tidak merujuk penyebab kemunduran peradaban pada satu faktor sahaja, melainkan pada semua variabel penting sosial, ekonomi dan politik, termasuk Shari'ah (S), pemegang kekuasaan politik atau wazi' (G), masyarakat atau rijal (N), kekayaan atau cadangan sumberdaya atau mal (W), pembangunan atau 'imarah (g), dan keadilan atau 'adl (j), dalam suatu hubungan sirkular dan interdependen, masing-masing faktor saling mempengaruhi dan pada saat yang sama juga menerima pengaruh dari faktor-faktor tersebut. Karena operasi dari siklus ini berlangsung melalui reaksi berantai selama periode yang panjang setidaknya tiga generasi atau sekitar 120 tahun, maka dimensi dinamisme dapat memperlihatkan bagaimana faktor-faktor moral, psikologi, politik, sosial, ekonomi dan demografi berinteraksi satu sama lain sepanjang waktu dan membawa kepada kemajuan atau kemunduran suatu peradaban. Dalam analisis jangka panjang, tidak ada klausa 'cateris paribus' karena tidak satupun faktor dan variabel yang tetap konstan. Salah satu variabel bertindak sebagai mekanisme pemicu, variabel lain mungkin bereaksi searah pemicunya, tetapi mungkin juga tidak bereaksi. Jika variabel lain tidak beraksi pada arah yg sama dengan faktor pemicunya, maka kerusakan di satu sektor mungkin tidak akan menyebar ke faktor yang lain sehingga sektor yang rusak akan tereformasi sejalan dengan waktu dengan kata lain kemunduran peradaban bisa lebih diperlambat. Tetapi, jika sektor yang lain bereaksi searah dengan mekanisme pemicu, maka kerusakan mendapat momentumnya melalui interelasi reaksi berantai sehingga sulit mendefinisikan dan membedakan penyebabnya. Lingkaran sebab akibat tersebut digambarkan sebagai Circle of Equity.

Dua link paling krusial dalam rantai sebab akibat adalah development (g) dan justice (j). Development sangat esensial karena kecenderungan alamiah dalam masyarakat adalah selalu berkembang, tidak diam dan stagnan, perkembangan tersebut dapat berupa kemajuan atau justru kemunduran. Development tidak semata berarti pertumbuhan ekonomi (economic growth). Development meliputi segenap aspek pembangunan manusia sehingga setiap variabel saling memperkaya dan diperkaya satu sama lain (G,S,N dan W), sehingga dapat memberikan kontribusi pada well-being yang sebenarnya atau kebahagiaan masyarakat (N), dan kontribusi tersebut tidak hanya bertujuan untuk mempertahankan peradaban semata, melainkan juga untuk kemajuannya. Development tidak akan pernah mungkin terwujud tanpa justice (j). Dua faktor tersebut berinterelasi sangat dekat dalam analisis Ibnu Khaldun, sehingga keduanya ditampilkan sejajar dan bersamaan dalam diagram Circle of Equity. Keadilan, sebagaimana pembangunan, oleh Ibnu Khaldun tidak dipahami dalam konteks yang sempit, melainkan dalam konteks yang lebih komprehensif yang meliputi keadilan untuk seluruh umat manusia. Keadilan dalam konteks komprehensif ini tidak mungkin terealisasi tanpa menciptakan masyarakat yang saling peduli melalui persaudaraan (brotherhood), dan kesetaraan sosial (social equality), jaminan keamanan hidup, keamanan properti, penghagaan terhadap sesama, kejujuran dalam pemenuhan kewajiban-kewajiban sosial, ekonomi dan politik, penghargaan atau hukuman yang sesuai dengan perbuatan, dan pencegahan dari kekejaman, dari ketidakadilan pada setiap umat manusia dalam segala bentuknya.

Variabel lain, Shari'ah(S) merujuk pada nilai-nilai(values) dan institusi atau peraturan untuk membuat masyarakat(N) memenuhi kewajiban-kewajibannya dan mencegah kerusakan sosial untuk memastikan penegakan keadilan(j), pembangunan(g) dan tercapainya well-being untuk semua. Peraturan tersebut dapat formal atau informal, tertulis maupun tidak tertulis. Setiap masyarakat pasti memiliki serangkaian peraturan berdasarkan sistem nilai mereka sendiri. Dasar utama peraturan ini dalam masyarakat muslim adalah Shari'ah(S). Syari'ah tidak mungkin dapat memainkan peranan yang berarti kecuali dengan implementasi yang adil dan imparsial. Menjadi kewajiban dari masyarakat (N) dan pemerintah (G) untuk memastikan pelaksanaan yang adil dan imparsial. Kekayaan (W) menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk memastikan keadilan dan pembangunan, mengefektifkan performansi peranan pemerintah (G) dan tercapainya well-being untuk masyarakat (N).

Relasi fungsional analisis Ibnu Khaldun dapat dinyatakan sebagai: G = f(S,N,W,g dan j)

Persamaan diatas belum dapat menggambarkan model dinamis Ibnu Khaldun secara utuh, tetapi masih bisa merefleksikan karakter multidisiplin dengan memperhitungkan semua variabel mayor yang disampaikan Ibnu Khaldun. Dalam persamaan ini, G ditampilkan sebagai variabel terikat karena salah satu perhatian utama Ibnu Khaldun adalah untuk menerangkan bagaimana kemajuan dan kemunduran dari dinasti-dinasti (negara) atau suatu peradaban. Menurutnya, kekuatan atau kelemahan dinasti bergantung pada kekuatan atau kelemahan otoritas politik yang mewujudkannya. Otoritas politik (G) harus --untuk kepentingan kelangsungan hidup jangka panjang-- menjamin well-being bagi masyarakat (N) dengan menyediakan lingkungan yang sesuai untuk aktualisasi pembangunan (g) dan keadilan (j) melalui implementasi Syari'ah (S), dan pembangunan serta distribusi kekayaan (W) yang setara.

Relasi sebab akibat yang normal mungkin tidak harus reversibel, tetapi dalam masyarakat manusia yang ditekankan Ibnu Khaldun, hubungan sirkular dan saling kebergantungan umumnya cenderung reversibel. Implikasinya, mekanisme triger pada kemunduran suatu masyarakat (yang dalam analisis Ibnu Khaldun adalah kegagalan G) bisa tidak sama untuk setiap masyarakat. Bisa dipicu oleh variabel manapun. Contohnya, disintegrasi keluarga, yang merupakan bagian integral dari N dalam model diatas. Disintegrasi keluarga membawa pendidikan yang tidak tepat kepada anak-anak selanjutnya membawa penurunan pada kualitas sumber daya manusia (N) yang merupakan dasar sebuah peradaban. Kemunduran peradaban juga bisa disebabkan kelemahan ekonomi (W) hasil dari kesalahan sistem ekonomi (S) seperti contoh kasus ekonomi totalitarian, atau institusi dan value yang buruk (S) seperti yang dihadapi banyak negara berkembang saat ini.(bersambung)

 
Disadur dari Umer Chapra oleh Didin Kristinawati
Pemikiran Ibnu Khaldun (1)
Buat halaman ini dlm format PDF
Cetak halaman ini
Kirim halaman ini ke teman via E-mail

Ditulis oleh Administrator   
Thursday, 31 August 2006
Dinamika Sosioekonomi dan Politik dalam Pemikiran Ibnu Khaldun (bagian 1)
ImageArtikel berikut mengeksplorasi teori-teori dan gagasan Ibnu Khaldun tentang sebab-sebab kejayaan dan kemunduran peradaban. Dengan penekanan karakter metodologi Ibnu Khaldun pada dinamika dan meliputi interdisiplin, pemikiran Ibnu Khaldun menunjukkan bagaimana faktor-faktor moral, sosial, ekonomi, politik, geografis dan budaya mengambil tempat yang tepat dalam skema Ibnu Khaldun. Tidak seperti kajian lain tentang Ibnu Khaldun, artikel ini menyajikan gagasan Ibnu Khaldun dalam terminologi kontemporer yang sekaligus membuat analisa dan rumusannya relevan dalam konteks kekinian. Artikel ini juga mengkaji peran sentral kesejahteraan, keadilan dan pembangunan dengan kepiawaian seorang negarawan, dan menyediakan model yang tepat untuk welfare-state Islam saat ini dimana tujuannya meliputi material dan moral well-being bagi semua warganya. 
Ibnu Khaldun hidup pada masa antara 1332-1405 M ketika peradaban Islam dalam proses penurunan dan disintegrasi. Khalifah Abbasiyah di ambang keruntuhan setelah penjarahan, pembakaran, dan penghancuran Baghdad dan wilayah disekitarnya oleh bangsa Mongol pada tahun 1258, sekitar tujuh puluh lima tahun sebelum kelahiran Ibnu Khaldun. Dinasi Mamluk (1250-1517), selama periode kristalisasi gagasan Ibnu Khaldun, hanya berkontribusi pada percepatan penurunan peradaban akibat korupsi dan inefisiensi yang mendera kekhalifahan, kecuali pada masa awal-awal periode pertama yang singkat dari sejarah kekhalifahan Mamluk. [Periode pertama Bahri/Turki Mamluk (1250-1382) yang banyak mendapat pujian dalam tarikh, periode kedua adalah Burji Mamluk (1382-1517), yang dikelilingi serangkaian krisis ekonomi yang parah]

Sebagai seorang muslim yang sadar, Ibnu Khaldun tekun mengamati bagaimana caranya membalik atau mereversi gelombang penurunan peradaban Islam. Sebagai ilmuwan sosial, Ibnu Khaldun sangat menyadari bahwa reversi tersebut tidak akan dapat tegambarkan tanpa menggambarkan pelajaran-pelajaran dari sejarah terlebih dahulu untuk menentukan faktor-faktor yang membawa sebuah peradaban besar melemah dan menurun drastis.

Muqaddimah, yang diselesaikan pada November 1377 adalah buah karya dari cita-cita besarnya tersebut. Muqaddimah secara harfiah bararti 'pembukaan' atau 'introduksi' dan merupakan jilid pembuka dari tujuh jilid tulisan sejarah, yang secara bebas diterjemahkan ke dalam buku "The Book of Lessons and the Record of Cause and Effect in the History of Arabs, Persians and Berbers and Their Powerful Contemporaries." Muqaddimah mencoba untuk menjelaskan prinsip-prinsip yang menentukan kebangkitan dan keruntuhan dinasti yang berkuasa (daulah) dan peradaban ('umran). Tetapi bukan hanya itu saja yang dibahas, Muqaddimah juga berisi diskusi ekonomi, sosiologi dan ilmu politik, yang merupakan kontribusi orisinil Ibnu Khaldun untuk cabang-cabang ilmu tersebut. Ibnu Khaldun juga layak mendapatkan penghargaan atas formula dan ekspresinya yang lebih jelas dan elegan dari hasil karya pendahulunya atau hasil karya ilmuwan yang sejaman dengannya. Wawasan Ibnu Khaldun terhadap beberapa prinsip-prinsip ekonomi sangat dalam dan jauh kedepan sehingga sejumlah teori yang dikemukakannya hampir enam abad yang lalu sampai sekarang tidak diragukan merupakan perintis dari beberapa formula teori modern. 
Model Dinamika Interdisiplin
Model Ibnu Khaldun dapat disarikan --walaupun tidak secara keseluruhan-- dalam nasihat --berikut-- yang diberikannya kepada kekhalifahan:

Kekuatan penguasa (Al-Mulk) tidak akan terwujud kecuali dengan implementasi Syari'ah
Syari'ah tidak dapat terimplementasi kecuali dengan Penguasa (Al-Mulk)
Penguasa tidak dapat memperoleh kekuatan kecuali melalui Rakyat (ar-rijal)
Rakyat tidak dapat dipelihara kecuali dengan Kekayaan (al-mal)
Kekayaan tidak dapat diperoleh kecuali melalui Pembangunan (al-imarah)
Pembangunan tidak dapat dicapai kecuali melalui Keadilan (al-'adl)
Keadilan adalah kriteria (al-mizan) Alloh menilai hamba-Nya
dan
Penguasa bertanggungjawab mengaktualisasikan Keadilan.

Nasihat Ibnu Khaldun disebut ' eight wise principles [kalimat hikamiyyah]', atau delapan prinsip kebijakan politik Ibnu Khaldun, masing-masing faktor berhubungan satu sama lain secara mutual, dalam formula sirkular tersebut, titik awal dan titik akhirnya tidak dapat dibedakan. Kalimat Hikamiyyah merefleksikan karakter analisa Ibnu Khaldun yang dinamis dan interdisiplin. Interdisiplin karena tidak merujuk penyebab kemunduran peradaban pada satu faktor sahaja, melainkan pada semua variabel penting sosial, ekonomi dan politik, termasuk Shari'ah (S), pemegang kekuasaan politik atau wazi' (G), masyarakat atau rijal (N), kekayaan atau cadangan sumberdaya atau mal (W), pembangunan atau 'imarah (g), dan keadilan atau 'adl (j), dalam suatu hubungan sirkular dan interdependen, masing-masing faktor saling mempengaruhi dan pada saat yang sama juga menerima pengaruh dari faktor-faktor tersebut. Karena operasi dari siklus ini berlangsung melalui reaksi berantai selama periode yang panjang setidaknya tiga generasi atau sekitar 120 tahun, maka dimensi dinamisme dapat memperlihatkan bagaimana faktor-faktor moral, psikologi, politik, sosial, ekonomi dan demografi berinteraksi satu sama lain sepanjang waktu dan membawa kepada kemajuan atau kemunduran suatu peradaban.
Dalam analisis jangka panjang, tidak ada klausa 'cateris paribus' karena tidak satupun faktor dan variabel yang tetap konstan. Salah satu variabel bertindak sebagai mekanisme pemicu, variabel lain mungkin bereaksi searah pemicunya, tetapi mungkin juga tidak bereaksi. Jika variabel lain tidak beraksi pada arah yg sama dengan faktor pemicunya, maka kerusakan di satu sektor mungkin tidak akan menyebar ke faktor yang lain sehingga sektor yang rusak akan tereformasi sejalan dengan waktu dengan kata lain kemunduran peradaban bisa lebih diperlambat. Tetapi, jika sektor yang lain bereaksi searah dengan mekanisme pemicu, maka kerusakan mendapat momentumnya melalui interelasi reaksi berantai sehingga sulit mendefinisikan dan membedakan penyebabnya. Lingkaran sebab akibat tersebut digambarkan sebagai Circle of Equity.

Dua link paling krusial dalam rantai sebab akibat adalah development (g) dan justice (j). Development sangat esensial karena kecenderungan alamiah dalam masyarakat adalah selalu berkembang, tidak diam dan stagnan, perkembangan tersebut dapat berupa kemajuan atau justru kemunduran. Development tidak semata berarti pertumbuhan ekonomi (economic growth). Development meliputi segenap aspek pembangunan manusia sehingga setiap variabel saling memperkaya dan diperkaya satu sama lain (G,S,N dan W), sehingga dapat memberikan kontribusi pada well-being yang sebenarnya atau kebahagiaan masyarakat (N), dan kontribusi tersebut tidak hanya bertujuan untuk mempertahankan peradaban semata, melainkan juga untuk kemajuannya. Development tidak akan pernah mungkin terwujud tanpa justice (j). Dua faktor tersebut berinterelasi sangat dekat dalam analisis Ibnu Khaldun, sehingga keduanya ditampilkan sejajar dan bersamaan dalam diagram Circle of Equity. Keadilan, sebagaimana pembangunan, oleh Ibnu Khaldun tidak dipahami dalam konteks yang sempit, melainkan dalam konteks yang lebih komprehensif yang meliputi keadilan untuk seluruh umat manusia. Keadilan dalam konteks komprehensif ini tidak mungkin terealisasi tanpa menciptakan masyarakat yang saling peduli melalui persaudaraan (brotherhood), dan kesetaraan sosial (social equality), jaminan keamanan hidup, keamanan properti, penghagaan terhadap sesama, kejujuran dalam pemenuhan kewajiban-kewajiban sosial, ekonomi dan politik, penghargaan atau hukuman yang sesuai dengan perbuatan, dan pencegahan dari kekejaman, dari ketidakadilan pada setiap umat manusia dalam segala bentuknya.

Variabel lain, Shari'ah(S) merujuk pada nilai-nilai(values) dan institusi atau peraturan untuk membuat masyarakat(N) memenuhi kewajiban-kewajibannya dan mencegah kerusakan sosial untuk memastikan penegakan keadilan(j), pembangunan(g) dan tercapainya well-being untuk semua. Peraturan tersebut dapat formal atau informal, tertulis maupun tidak tertulis. Setiap masyarakat pasti memiliki serangkaian peraturan berdasarkan sistem nilai mereka sendiri. Dasar utama peraturan ini dalam masyarakat muslim adalah Shari'ah(S). Syari'ah tidak mungkin dapat memainkan peranan yang berarti kecuali dengan implementasi yang adil dan imparsial. Menjadi kewajiban dari masyarakat (N) dan pemerintah (G) untuk memastikan pelaksanaan yang adil dan imparsial. Kekayaan (W) menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk memastikan keadilan dan pembangunan, mengefektifkan performansi peranan pemerintah (G) dan tercapainya well-being untuk masyarakat (N).

Relasi fungsional analisis Ibnu Khaldun dapat dinyatakan sebagai: G = f(S,N,W,g dan j)

Persamaan diatas belum dapat menggambarkan model dinamis Ibnu Khaldun secara utuh, tetapi masih bisa merefleksikan karakter multidisiplin dengan memperhitungkan semua variabel mayor yang disampaikan Ibnu Khaldun. Dalam persamaan ini, G ditampilkan sebagai variabel terikat karena salah satu perhatian utama Ibnu Khaldun adalah untuk menerangkan bagaimana kemajuan dan kemunduran dari dinasti-dinasti (negara) atau suatu peradaban. Menurutnya, kekuatan atau kelemahan dinasti bergantung pada kekuatan atau kelemahan otoritas politik yang mewujudkannya. Otoritas politik (G) harus --untuk kepentingan kelangsungan hidup jangka panjang-- menjamin well-being bagi masyarakat (N) dengan menyediakan lingkungan yang sesuai untuk aktualisasi pembangunan (g) dan keadilan (j) melalui implementasi Syari'ah (S), dan pembangunan serta distribusi kekayaan (W) yang setara.

Relasi sebab akibat yang normal mungkin tidak harus reversibel, tetapi dalam masyarakat manusia yang ditekankan Ibnu Khaldun, hubungan sirkular dan saling kebergantungan umumnya cenderung reversibel. Implikasinya, mekanisme triger pada kemunduran suatu masyarakat (yang dalam analisis Ibnu Khaldun adalah kegagalan G) bisa tidak sama untuk setiap masyarakat. Bisa dipicu oleh variabel manapun. Contohnya, disintegrasi keluarga, yang merupakan bagian integral dari N dalam model diatas. Disintegrasi keluarga membawa pendidikan yang tidak tepat kepada anak-anak selanjutnya membawa penurunan pada kualitas sumber daya manusia (N) yang merupakan dasar sebuah peradaban. Kemunduran peradaban juga bisa disebabkan kelemahan ekonomi (W) hasil dari kesalahan sistem ekonomi (S) seperti contoh kasus ekonomi totalitarian, atau institusi dan value yang buruk (S) seperti yang dihadapi banyak negara berkembang saat ini.(bersambung)

 
Disadur dari Umer Chapra oleh Didin Kristinawati

Belajar Dari Ibnu Khaldun
Buat halaman ini dlm format PDF
Cetak halaman ini
Kirim halaman ini ke teman via E-mail

Ditulis oleh didinkaem   
Wednesday, 21 March 2007
Oleh Marsudi Fitro Wibowo
ImageJika kita berbicara tentang seorang cendekiawan yang satu ini, memang cukup unik dan mengagumkan. Sebenarnya, dialah yang patut dikatakan sebagai pendiri ilmu sosial. Ia lahir dan wafat di saat bulan suci Ramadan. Nama lengkapnya adalah Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin al-Hasan yang kemudian masyhur dengan sebutan Ibnu Khaldun.
Pemikiran-pemikirannya yang cemerlang mampu memberikan pengaruh besar bagi cendekiawan-cendekiawan Barat dan Timur, baik Muslim maupun non-Muslim. Dalam perjalanan hidupnya, Ibnu Khaldun dipenuhi dengan berbagai peristiwa, pengembaraan, dan perubahan dengan sejumlah tugas besar serta jabatan politis, ilmiah dan peradilan. Perlawatannya antara  Maghrib dan Andalusia, kemudian antara Maghrib dan negara-negara Timur memberikan hikmah yang cukup besar. Ia adalah keturunan dari sahabat Rasulullah saw. bernama Wail bin Hujr dari kabilah Kindah. 
Lelaki yang lahir di Tunisia pada 1 Ramadan 732 H./27 Mei 1332 M. adalah dikenal sebagai sejarawan dan bapak sosiologi Islam yang hafal Alquran sejak usia dini. Sebagai ahli politik Islam, ia pun dikenal sebagai bapak Ekonomi Islam, karena pemikiran-pemikirannya tentang teori ekonomi yang logis dan realistis jauh telah dikemukakannya sebelum Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo (1772-1823) mengemukakan teori-teori ekonominya. Bahkan ketika memasuki usia remaja, tulisan-tulisannya sudah menyebar ke mana-mana. Tulisan-tulisan dan pemikiran Ibnu Khaldun terlahir karena studinya yang sangat dalam, pengamatan terhadap berbagai masyarakat yang dikenalnya dengan ilmu dan pengetahuan yang luas, serta ia hidup di tengah-tengah mereka dalam pengembaraannya yang luas pula. 
Selain itu dalam tugas-tugas yang diembannya penuh dengan berbagai peristiwa, baik suka dan duka. Ia pun pernah menduduki jabatan penting di Fes, Granada, dan Afrika Utara serta pernah menjadi guru besar di Universitas al-Azhar, Kairo yang dibangun oleh dinasti Fathimiyyah. Dari sinilah ia melahirkan karya-karya yang monumental hingga saat ini. Nama dan karyanya harum dan dikenal di berbagai penjuru dunia. Panjang sekali jika kita berbicara tentang biografi Ibnu Khaldun, namun ada tiga periode yang bisa kita ingat kembali dalam perjalan hidup beliau. Periode pertama, masa dimana Ibnu Khaldun menuntut berbagai bidang ilmu pengetahuan. Yakni, ia belajar Alquran, tafsir, hadis, usul fikih, tauhid, fikih madzhab Maliki, ilmu nahwu dan sharaf, ilmu balaghah, fisika dan matematika.

Dalam semua bidang studinya mendapatkan nilai yang sangat memuaskan dari para gurunya. Namun studinya terhenti karena penyakit pes telah melanda selatan Afrika pada tahun 749 H. yang merenggut ribuan nyawa. Ayahnya dan sebagian besar gurunya meninggal dunia. Ia pun berhijrah ke Maroko selanjutnya ke Mesir; Periode kedua, ia terjun dalam dunia politik dan sempat menjabat berbagai posisi penting kenegaraan seperti qadhi al-qudhat (Hakim Tertinggi). Namun, akibat fitnah dari lawan-lawan politiknya, Ibnu Khaldun sempat juga dijebloskan ke dalam penjara.
SETELAH keluar dari penjara, dimulailah periode ketiga kehidupan Ibnu Khaldun, yaitu berkonsentrasi pada bidang penelitian dan penulisan, ia pun melengkapi dan merevisi catatan-catatannya yang telah lama dibuatnya. Seperti kitab al-'ibar (tujuh jilid) yang telah ia revisi dan ditambahnya bab-bab baru di dalamnya, nama kitab ini pun menjadi Kitab al-'Ibar wa Diwanul Mubtada' awil Khabar fi Ayyamil 'Arab wal 'Ajam wal Barbar wa Man 'Asharahum min Dzawis Sulthan al-Akbar. 
Kitab al-i'bar ini pernah diterjemahkan dan diterbitkan oleh De Slane pada tahun 1863, dengan judul Les Prolegomenes d'Ibn Khaldoun. Namun pengaruhnya baru terlihat setelah 27 tahun kemudian. Tepatnya pada tahun 1890, yakni saat pendapat-pendapat Ibnu Khaldun dikaji dan diadaptasi oleh sosiolog-sosiolog German dan Austria yang memberikan pencerahan bagi para sosiolog modern. 
Karya-karya lain Ibnu Khaldun yang bernilai sangat tinggi diantaranya, at-Ta'riif bi Ibn Khaldun (sebuah kitab autobiografi, catatan dari kitab sejarahnya); Muqaddimah (pendahuluan atas kitabu al-'ibar yang bercorak sosiologis-historis, dan filosofis); Lubab al-Muhassal fi Ushul ad-Diin (sebuah kitab tentang permasalahan dan pendapat-pendapat teologi, yang merupakan ringkasan dari kitab Muhassal Afkaar al-Mutaqaddimiin wa al-Muta'akh-khiriin karya Imam Fakhruddin ar-Razi). 
DR. Bryan S. Turner, guru besar sosiologi di Universitas of Aberdeen, Scotland dalam artikelnya "The Islamic Review & Arabic Affairs" di tahun 1970-an mengomentari tentang karya-karya Ibnu Khaldun. Ia menyatakan, "Tulisan-tulisan sosial dan sejarah dari Ibnu Khaldun hanya satu-satunya dari tradisi intelektual yang diterima dan diakui di dunia Barat, terutama ahli-ahli sosiologi dalam bahasa Inggris (yang menulis karya-karyanya dalam bahasa Inggris)." Salah satu tulisan yang sangat menonjol dan populer adalah muqaddimah (pendahuluan) yang merupakan buku terpenting tentang ilmu sosial dan masih terus dikaji hingga saat ini. 
Bahkan buku ini telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Di sini Ibnu Khaldun menganalisis apa yang disebut dengan ‘gejala-gejala sosial’ dengan metoda-metodanya yang masuk akal yang dapat kita lihat bahwa ia menguasai dan memahami akan gejala-gejala sosial tersebut. Pada bab ke dua dan ke tiga, ia berbicara tentang gejala-gejala yang membedakan antara masyarakat primitif dengan masyarakat moderen dan bagaimana sistem pemerintahan dan urusan politik di masyarakat.
Bab ke dua dan ke empat berbicara tentang gejala-gejala yang berkaitan dengan cara berkumpulnya manusia serta menerangkan pengaruh faktor-faktor dan lingkungan geografis terhadap gejala-gejala ini. Bab ke empat dan ke lima, menerangkan tentang ekonomi dalam individu, bermasyarakat maupun negara. Sedangkan bab ke enam berbicara tentang paedagogik, ilmu dan pengetahuan serta alat-alatnya. Sungguh mengagumkan sekali sebuah karya di abad ke-14 dengan lengkap menerangkan hal ihwal sosiologi, sejarah, ekonomi, ilmu dan pengetahuan. Ia telah menjelaskan terbentuk dan lenyapnya negara-negara dengan teori sejarah. 
Ibnu Khaldun sangat meyakini sekali, bahwa pada dasarnya negera-negara berdiri bergantung pada generasi pertama (pendiri negara) yang memiliki tekad dan kekuatan untuk mendirikan negara. Lalu, disusul oleh generasi ke dua yang menikmati kestabilan dan kemakmuran yang ditinggalkan generasi pertama. Kemudian, akan datang generasi ke tiga yang tumbuh menuju ketenangan, kesenangan, dan terbujuk oleh materi sehingga sedikit demi sedikit bangunan-bangunan spiritual melemah dan negara itu pun hancur, baik akibat kelemahan internal maupun karena serangan musuh-musuh yang kuat dari luar yang selalu mengawasi kelemahannya. 
ADA beberapa catatan penting dari sini yang dapat kita ambil bahan pelajaran. Bahwa Ibnu Khaldun menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan tidak meremehkan akan sebuah sejarah. Ia adalah seorang peneliti yang tak kenal lelah dengan dasar ilmu dan pengetahuan yang luas. Ia selalu memperhatikan akan komunitas-komunitas masyarakat. Selain seorang pejabat penting, ia pun seorang penulis yang produktif. Ia menghargai akan tulisan-tulisannya yang telah ia buat. Bahkan ketidaksempurnaan dalam tulisannya ia lengkapi dan perbaharui dengan memerlukan waktu dan kesabaran. Sehingga karyanya benar-benar berkualitas, yang di adaptasi oleh situasi dan kondisi. 
Karena pemikiran-pemikirannya yang briliyan Ibnu Khaldun dipandang sebagai peletak dasar ilmu-ilmu sosial dan politik Islam. Dasar pendidikan Alquran yang diterapkan oleh ayahnya menjadikan Ibnu Khaldun mengerti tentang Islam, dan giat mencari ilmu selain ilmu-ilmu keislaman. Sebagai Muslim dan hafidz Alquran, ia menjunjung tinggi akan kehebatan Alquran. Sebagaimana dikatakan olehnya, "Ketahuilah bahwa pendidikan Alquran termasuk syiar agama yang diterima oleh umat Islam di seluruh dunia Islam. Oleh kerena itu pendidikan Alquran dapat meresap ke dalam hati dan memperkuat iman. Dan pengajaran Alquran pun patut diutamakan sebelum mengembangkan ilmu-ilmu yang lain." 
Jadi, nilai-nilai spiritual sangat di utamakan sekali dalam kajiannya, disamping mengkaji ilmu-ilmu lainnya. Kehancuran suatu negara, masyarakat, atau pun secara individu dapat disebabkan oleh lemahnya nilai-nilai spritual. Pendidikan agama sangatlah penting sekali sebagai dasar untuk menjadikan insan yang beriman dan bertakwa untuk kemaslahatan umat. Itulah kunci keberhasilan Ibnu Khaldun, ia wafat di Kairo Mesir pada saat bulan suci Ramadan tepatnya pada tanggal 25 Ramadan 808 H./19 Maret 1406 M.***

Memposisikan Ekonomi Islam
Buat halaman ini dlm format PDF
Cetak halaman ini
Kirim halaman ini ke teman via E-mail

Ditulis oleh Administrator   
Tuesday, 29 August 2006
(Kejayaan yang Pernah dan Akan Gemilang)
Oleh: Didin Kristinawati Misnu
ImageEkonomi Islam bukan pertengahan akomodasi kapitalisme dan sososialisme. Ekonomi Islam mempunyai karakteristiknya sendiri, hatta jikapun terdapat poin kesamaan tertentu dalam mekanismenya dengan ekonomi konvensional.  Membicarakan ekonomi Islam bukan hanya soalan bank syari'ah dan ZISWAF sahaja, tetapi mencakup ekonomi makro, ekonomi mikro, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, pembiayaan publik hingga konsep pembangunan.  
Subjek dalam studi ekonomi Islam sangat dekat dengan ekonomi konvensional yaitu alokasi dan distribusi sumberdaya yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas, tetapi kurang tepat anggapan yang menyatakan ekonomi Islam adalah ekonomi konvensional minus riba plus ZIS. Karena visi dan tujuan yang mendasari subjek ekonomi Islam tidak ekivalen dengan ekonomi konvensional. Demikian pula pendefinisan well-being atau kesejahteraan dalam subjek ekonomi Islam tidak ekivalen dengan ekonomi konvensional.  
Dalam literatur ekonomi konvensional, kesejahteraan didefinisikan sebagai 'happines and life satisfaction'. Selanjutnya dalam ekonomi konvensional happiness diasosiasikan dalam terminologi material dan hedonistis, perolehan pendapatan dan profit yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan jasmani (biological needs). Sehingga sangat rasional bagi aktifitas ekonominya untuk melayani kecenderungan pribadi, kekayaan, kesenangan jasmani dan kepuasan sensual. Karena kesenangan dan kepuasan sensual bergantung pada selera dan preferensi individu masing-masing, maka 'value judgement' akan disingkirkan sehingga individu memiliki kebebasan memutuskan apa yang mereka inginkan (freedom to pursue self interest). Ini pula yang menyebabkan peran pemerintah diupayakan minimum kecuali pada tingkat yang diperlukan untuk mengefektifkan performansi individu dan pasar.

Dalam ekonomi Islam, Ibnu Khaldun berpendapat kesejahteraan tidak saja pemenuhan kebutuhan dasar jasmani, melainkan juga kebutuhan non-material. Salah satu kebutuhan non material yang paling penting adalah keadilan. Syarat kesejahteraan lainnya adalah ketenangan mental, keharmonisan keluarga dan masyarakat, persaudaraan umat manusia, kebebasan, keamanan harta benda, keamanan hidup, minimisasi kejahatan dan penekanan.
Kesejahteraan merupakan produk akhir dari interaksi faktor-faktor ekonomi (seperti pendapatan) dengan faktor-faktor moral, sosial, demografis, politis dan historis yang terintegrasi sedemikian rupa sehingga masing-masing faktor tersebut tidak akan bisa berkontribusi optimum dengan menghilangkan salah satunya. Kesejahteraan yang sebenarnya tidak akan pernah terealisasi tanpa keadilan. Al-Qur'an menyatakan penegakan keadilan menjadi tujuan diutusnya para rosul (QS.57:25): "Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat berlaku adil" Rosululloh saw juga menyatakan ketidakadilan sebagai kegelapan yang sesungguhnya (injustice equivalent to absolute darkness). Karena ketidakadilan meruntuhkan solidaritas, menyulut konflik, membunuh kepercayaan serta membuat kerusakan pada kehidupan manusia. 
Abu Yusuf (wafat 789) menegaskan kepada Khalifah Harun Al Rasyid bahwa penegakan keadilan dan pembasmian ketidakadilan akan mempercepat pembangunan. Al-Mawardi (wafat 1058) menyatakan keadilan akan meningkatkan solidaritas, penegakan hukum, pembangunan negara, peningkatan kekayaan, pertumbuhan penduduk dan keamaan negara. Dinyatakan pula "tidak ada yang dapat merusak dunia dan kemanusiaan manusia lebih cepat dari ketidakadilan." Ibnu Taimiyyah (wafat 1328) menyatakan keadilan adalah produk inti dari ketauhidan. Ibnu Khaldun juga menyatakan tidak mungkin membangun tanpa keadilan, ketidakadilan membawa kehancuran pembangunan, penurunan kesejahteraan adalah hasil dari pelanggaran keadilan. Dari definisi kesejahteraan yang diadopsi suatu masyarakat, akan membawa perbedaan konfigurasi dan mekanisme alokasi dan distribusi sumberdaya yang terbatas tersebut. 
Pemikiran ekonomi Islam oleh sarjana muslim berlangsung gemilang dan redup seiring merosotnya kekhilafahan dan penghancuran dokumentasi kebudayaan dan ilmu pengetahuan oleh bangsa Mongol. Ibnu Khaldun (wafat 1406) sebagai muslim yang sadar akan fenomena kemerosotan umat, membuat analisa komprehensif dalam Muqadimah, yang bahkan konsep pembangunannya sangat maju mencakup multidisiplin, yang sekarang --diantaranya-- digagas oleh Amartya Sen dalam Freedom as Development.Sesudahnya tidak terdengar kajian-kajian komprehensif lagi, kecuali oleh beberapa sarjana muslim (yang terisolasi) seperti Al-Maqrizi (wafat 1442), Al-Dawwani (wafat 1501) dan terakhir Shah Waliyullah (wafat 1762). 
Mengkonstruksi kompleksitas mekanisasi ekonomi Islam untuk bisa 'keluar' dari arus utama sistem ekonomi saat ini bukan pekerjaan yang bisa diharapkan selesai dalam waktu singkat. Apalagi jika kita perhatikan bahwa kebangkitan pemikiran ekonomi Islam baru berlangsung sekitar 40 tahun terakhir, dimulai dari beberapa waktu sebelum pendirian IDB pada 1975. Dapatlah kita bayangkan kekosongan pemikiran ekonomi Islam berlangsung dari 1762 hingga 1970-an (berarti hampir 250 tahun) atau bahkan hampir 600 tahun jika ditarik dari masa pemikiran Ibnu Khaldun. Jumlah orang, universitas, pemerintahan dan lembaga riset yang berpartisipasi dalam pengembangan ekonomi Islam masih sangat sedikit, bahkan di negri-negri muslim sekalipun. Bandingkan dengan kapitalisme yang sudah berjalan lebih dari satu abad, pengembangannya berakselerasi nyaris tanpa interupsi. Tergambar jelas dari jurnal-jurnalnya yang tidak terhitung lagi, buku, laporan dan riset di seluruh dunia yang melimpah. Atau socialism yang 'divonis' bangkrut dan hancur, jurnalnya melimpah, pemikirnya terus aktif dalam forum defensif Marxist. Bagaimana dengan kita? 
Sekarang, jika ekonomi konvesional diasumsikan sudah sedemikian kokoh terbangun, bagaimana posisi ekonomi Islam? masih cukup relevan atau esensiilkah dalam tahapan globalisasi ekonomi saat ini? Sedikit romantisme sejarah, ketika peradaban madani telah terbangun, di sisi lain berlangsung perang berkepanjangan Persia-Romawi. Terjadi pungutan pajak dan tarif yang luar biasa berat untuk pembiayaan perang, sehingga menghambat perdagangan dan pembangunan. Sementara wilayah dibawah pengaturan Islam menjadi pangsa pasar yang luas dan terbuka dengan pajak minimum, perputaran uang yang pesat, tempat penyimpanan barang-barang, kapital, dan interaksi antar manusia yang bebas dan aman. Mengapa bisa demikian? karena keadilan dan kepatutan dalam interaksi umat manusia adalah komponen inheren dalam ekonomi Islam. 
Iklim tersebut mendorong perdagangan yang membentang dari Maroko dan Spanyol di barat, ke India dan China di timur, Asia Tengah di utara, hingga Afrika di selatan. Ekspansi perdagangan ini dibuktikan tidak hanya dari dokumen sejarah, melainkan juga melalui koin atau mata uang Islam dari abad 7 dan 8 yang ditemukan di Rusia, Finlandia, Swedia, Norwegia, British dan Scotland. Negeri-negeri yang notabene bukan negeri Muslim. Kegairahan perdagangan mendorong pembangunan di seluruh dunia, tidak hanya trading produk pertanian, tetapi juga kerajinan, dan barang-barang 'industri'. Sehingga terjadi peningkatan pendapatan yang signifikan. Tidak saja di negeri-negeri Muslim melainkan terdistribusi secara adil kepada pelaku ekonomi meskipun bukan negri muslim. Jadi gagasan kemakmuran bersama bukan sesuatu yang baru dalam peradaban Islam. 
Keberhasilan ekonomi Islam bukanlah fantasi dan bisa kita bangun kembali, karena pernah berjaya dari abad 7 hingga abad 12 atau selama 600 tahun, kemudian gejala kemerosotan umat berlangsung 200 tahun hingga sejak abad 14 umat benar-benar jadi bulan-bulanan hingga sekarang.  Peradaban yang –pernah-- kalah menyisakan keperihan terputusnya dokumentasi keilmuan dan terpasungnya pemikir-pemikir peradaban. Tetapi dengan kerja keras dan kerja umat yang bersama-sama membangun konsepsi ekonomi Islam, serta menjalankan instrumen ekonomi Islam secara riil, insya Allah akan menjadi gelombang perbaikan kemajuan peradaban Islam.
Referensi:
Chapra, Journal of Socio-Economics 2000
Bruno S. Frey and Alois Stutzer, Journal of Economic Literature (June, 2002), 403




Pengajian Shoutcast
Pengajian Online

Tiap Kamis Malam
dan
Ahad Malam
18.00 WIB


Cari Produk Halal
Search Produk Halal
Top of Form

Bottom of Form

Pengajian Virtual
Via:
Top of Form

Bottom of Form



Kirim Artikel
Kami menerima kiriman tulisan untuk melengkapi referensi Islam yang termuat di website ini.
Silahkan kirim ke redaksi Alamat e-mail ini telah diblok oleh spam bots, Anda membutuhkan Javascript untuk melihatnya





Halaman Utama arrowEkonomi Syariah arrowImplementasi Ekonomi Syariah Menuju Islam Kaffah

Implementasi Ekonomi Syariah Menuju Islam Kaffah
Cetak halaman ini
Kirim halaman ini ke teman via E-mail

Oleh: Agustianto   
(Materi Khutbah Jum’at di Mesjid Al-Balagh Kompleks Bulog, 17 April 2006
dan Mesjid Al-Ikhwan Depertemen Luar Negeri,12 Mei 2006 )
ثم  جعلناك على شريعة من الأمر  فاتبعها  ولآ تتبع أهواء  الذين  لا يعلمون
 Firman Allah tersebut terdapat dalama surah Al-Jatsiyah ayat 18 :

”Kemudian kami jadikan bagiu kamu sebuah syari’ah, maka ikutilah syariah itu, dan jangan kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui
           Islam sebagai ad-din mengandung ajaran yang komprehensif dan sempurna     ( syumul ). Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tidak saja aspek ibadah, tetapi juga aspek muamalah, khususnya ekonomi Islam. Al- Qur’an secara tegas menyatakan kesempurnaan Islam tersebut dalam banyak ayat, antara lain, ( QS. 5:3, 6:38, 16:89).
Kesempurnaan Islam itu tidak saja diakui oleh intelektual muslim, tetapi juga para orientalist barat, di antaranya H.A.R Gibb yang mengatakan, “ Islam is much more than a system of theology it’s a complete civilization.”
Salah satu ajaran Islam yang mengatur kehidupan manusia adalah aspek ekonomi (mua’malah, iqtishodiyah ). Ajaran Islam tentang ekonomi cukup banyak, baik dalam Al-quran, Sunnah, maupun ijtihad para ulama. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian Islam dalam masalah ekonomi sangat besar. Ayat yang terpanjang dalam Al-Quran justru berisi tentang masalah perekonomian, bukan  masalah ibadah (mahdhah) atau aqidah. Ayat yang terpanjang itu ialah ayat 282 dalam surah Albaqarah, yang menurut Ibnu Arabi ayat ini mengandung 52 hukum/malasah ekonomi).
C.C. Torrey dalam The Commercial Theological Term in the Quran
menerangkan bahwa Alquran memakai 20
terminologi bisnis. Ungkapan tersebut malahan diulang
sebanyak 720 kali.
Dua puluh terminologi bisnis tersebut antara lain,  1.Tijarah, 2. Bai’, 3. Isytara, 4. Dain (Tadayan) , 5. Rizq, 6. Riba, 7. dinar, 8. dirham, 9. qismah 10. dharb/mudharabah, 11. Syirkah, 12. Rahn, 13.Ijarah/ujrah, 14. Amwal 15.Fadhlillah 17. akad/’ukud 18. Mizan (timbangan) dalam perdagangan, 19. Kail (takaran) dalam perdagangan, 20. waraq (mata uang).

Nabi Muhammad menyebut, ekonomi adalah pilar pembangunan dunia. Dalam berbagai hadits ia juga  menyebutkan bahwa para pedagang (pebisnis) sebagai profesi terbaik, bahkan mewajibkan ummat Islam untuk menguasai perdagangan.

عليكم  بالتجارة  فان  فيها  تسعة  اعشار الرزق
( رواه  احمد)

“ Hendaklah kamu kuasai bisnis, karena 90 % pintu   rezeki ada dalam bisnis”. (H.R.Ahmad)

ان أطيب الكسب  كسب التجار

”Sesungguhnya sebaik-baik usaha/profesi adalah usaha perdagangan (H.R.Baihaqi) (Sumber Muhammad Ali As-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, Juz 2, tp, tt, hlm 86.)

Demikian besarnya penekanan dan perhatian Islam pada ekonomi, karena itu tidak mengherankan jika ribuan  kitab Islam membahas konsep ekonomi Islam. Kitab-kitab fikih senantiasa membahas topik-topik mudharabah, musyarakah, musahamah, murabahah, ijarah, wadi’ah, wakalah, hawalah, kafalah, jialah, ba’i salam,istisna’, riba, dan ratusan konsep muamalah lainnya.  Selain dalam kitab-kitab  fikih, terdapat karya-karya ulama klasik yang sangat melimpah dan secara panjang lebar (luas) membahas konsep dan ilmu ekonomi Islam. Pendeknya, kajian-kajian ekonomi Islam yang dilakukan para ulama Islam klasik sangat melimpah.

Prof. Dr. Muhammad N. Ash-Shiddiqy, dalam buku “Muslim Economic Thinking” meneliti 700 judul buku yang membahas ekonomi Islam. (London, Islamic Fountaion, 1976)
Dr. Javed Ahmad Khan dalam buku Islamic Economics & Finance : A Bibliografy, (London, Mansell Publisihing Ltd) , 1995 mengutip 1621 tulisan tentang Ekonomi Islam,
Seluruh kitab fikih Islam membahas masalah muamalah, contoh : Al-Umm (Imam Syafi’i), Majmu’ Syarah Muhazzab (Imam Nawawi), Majmu Fatawa (Ibnu Taimiyah). Sekitar 1/3 isi kitab tersebut berisi tentang kajian muamalah. Oleh karena itulah maka Prof. Dr.Umer Ibrahim Vadillo (intelektual asal Scotlandia)  pernah menyatakan dalam ceramahnya di Program Pascasarjana  IAIN Medan,  bahwa 1/3 ajaran Islam tentang muamalah.  
Materi kajian ekonomi Islam pada masa klasik Islam itu cukup maju dan berkembang. Shiddiqi dalam hal ini menuturkan :
“Ibnu Khaldun has a wide range  of discussions on economics including the subject value, division of labour, the price system, the law of supply and demand, consumption and production, money, capital formation, population growth, macroeconomics of taxation and public expenditure, trade cycles, agricultural, industry and trade, property and prosperity, etc.  He discussses the various  stages through which societies pass in economics progress. We also get the basic idea embodied in the backward-sloping supply curve of labour”  (Shiddiqy, Muhammad Nejatullah, Muslim Economic Thinking,  A Survey of Contemporary Literature, dalam buku  Studies in Islamic Economics, International Centre for Research in Islamic Economics King Abdul Aziz Jeddah  and The Islamic Foundation, United Kingdom,  1976, hlm. 261.)
(Artinya, “Ibn Khaldun membahas aneka ragam masalah ekonomi yang luas, termasuk ajaran tentang tata nilai, pembagian kerja, sistem harga, hukum penawaran dan permintaan/Supply and demand, konsumsi dan produksi, uang, pembentukan modal, pertumbuhan penduduk, makro ekonomi dari pajak dan pengeluaran publik, daur perdagangan, pertanian, industri dan perdagangan, hak milik dan kemakmuran, dan sebagainya. Ia juga membahas berbagai tahapan yang dilewati masyarakat dalam perkembangan ekonominya. Kita juga menemukan paham dasar yang menjelma dalam kurva penawaran tenaga kerja yang kemiringannya berjenjang mundur).
Boulakia bahkan menyatakan bahwa Ibnu Khaldun jauh mendahului Adam Smith, Keyneys, Ricardo dan Robert Malthus.
Ibnu Khaldun  discovered  a great number  of fundamental economic notions a few centuries before their official births. He discovered  the virtue and the necessity  of a division of labour before Smith and the principle of labour value before Ricardo. He elaborated  a theory  of population before Malthus and insisted  on the role  of the state in the economy before Keyneys. But much more than that, Ibnu Khaldun used these concepts to build a coherent dinamics system in which the economic mechanism inexorably led economic activity to long term fluctuation.....[1]. (Sumber Boulakia, Jean David C., “Ibn Khaldun: A Fourteenth Century Economist” – Journal of Political Economiy 79 (5) September –October 1971: 1105-1118

(Artinya, “Ibn Khaldun telah  menemukan sejumlah besar ide dan pemikiran ekonomi fundamental beberapa abad sebelum kelahiran ”resminya” (di Eropa). Ia  menemukan keutamaan dan kebutuhan suatu pembagian kerja sebelum ditemukan Smith dan prinsip tentang nilai kerja sebelum Ricardo. Ia telah mengolah suatu teori tentang kependudukan sebelum Malthus dan mendesak akan peranan negara di dalam perekonomian sebelum Keynes. Bahkan lebih dari itu, Ibn Khaldun telah menggunakan konsepsi-konsepsi ini untuk  membangun suatu sistem dinamis yang mudah dipahami di mana mekanisme ekonomi telah mengarahkan kegiatan ekonomi kepada fluktuasi jangka panjang…:”)

Demikian gambaran maju dan berkembangnya ekonomi Islam di masa lampau.Tetapi sangat disayangkan, dalam waktu yang relatif panjang yaitu sekitar 7 abad ( sejak abad 13 s/d pertengahan abad 20 ), ajaran –ajaran Islam tentang ekonomi ditelantarkan dan diabaikan kaum muslimin. Akibatnya ekonomi Islam terbenam dalam limbo sejarah dan mengalami kebekuan ( stagnasi ). Dampak selanjutnya, ummat Islam tertinggal  dan terpuruk dalam bidang ekonomi. Dalam kondisi yang demikian, masuklah kolonialisme barat mendesakkan dan mengajarkan doktrrin-doktrin ekonomi ribawi (kapitalisme), khususnya sejak abad 18 sd abad 20. Proses ini berlangsung lama, sehingga paradigma dan sibghah ummat Islam menjadi terbiasa dengan sistem kapitalisme dan malah sistem, konsep dan teori-teori itu menjadi berkarat dalam pemikiran ummat Islam. Maka sebagai konsekuensinya, ketika ajaran ekonomi Islam kembali mau ditawarkan kepada ummat Islam, mereka melakukan penolakan, karena dalam pikirannya telah mengkristal pemikiran ekonomi ribawi, pemikiran ekonomi kapitalisme. Padahal ekonomi syari’ah adalah ajaran Islam yang harus diikuti dan diamalkan, sebagaimana terdapat dalam firman Allah dalam Al-Quran
Firman Allah tersebut terdapat dalama surah Al-Jatsiyah ayat 18 :
”Kemudian kami jadikan bagiu kamu sebuah syari’ah, maka ikutilah syriah itu, dan jangan kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui

Sikap ummat Islam (utamanya para ulama dan intelektual muslim) yang mengabaikan kajian-kajian muamalah sangat disesalkan oleh ulama (para ekonom muslim). Prof. Dr.Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi mengatakan dalam buku  ”Muslim Economic Thinking”, sebagai berikut

“The ascendancy of the Islamic civilization and its dominance of the world scene for  a thousand years  could not have been unaccompanied  by economic ideas as such. From Abu Yusuf in the second century  to Tusi and Waliullah  we get a contiunity of serious  discussion on taxation,  government expenditure,  home economics, money  and exchange, division of labour, monopoly, price control,  etc, Unfortunelly no serious attention has been paid to this heritage by centres of academic research in economics. (Muslim Economic Thingking, Islamic Fondation United Kingdom, 1976, p 264)
Artinya, “Kejayaan peradaban Islam dan pengaruhnya atas panggung sejarah dunia untuk 1000 tahun, tidak mungkin tanpa diiringi dengan ide-ide (pemikiran) ekonomi dan sejenisnya. Dari Abu Yusuf pada abad ke 2 Hijriyah sampai ke Thusi dan Waliullah  kita memiliki kesinambungan dari serentetan  pembahasan yang sungguh-sungguh mengenai perpajakan, pengeluaran pemerintah, ekonomi rumah tangga, uang dan perdagangan, pembagian kerja , monopoli, pengawasan harga dan sebagainya. Tapi sangat disayangkan, tidak ada perhatian yang sungguh-sungguh  yang diberikan atas   khazanah intelektual yang berharga ini oleh pusat-pusat riset akademik di bidang ilmu ekonomi”.

Memasuki Islam Secara Kaffah
Dari paparan di atas jelaslah bahwa Islam memiliki ajaran ekonomi Islam yang luar biasa banyaknya. Sebagai konsekuensinya, kita harus mengamalkan ajaran ekonomi Islam tersebut agar keIslaman kita menjadi kaffah, tidak sepotong-potong. Allah SWT secara tegas memerintahkan agar kita memasuki Islam secara kaffah ( menyeluruh ). “ Hai orang – orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam kaffah, dan jangan kamu ikuti langkah – langkah setan, sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”. ( QQ. 2 : 208 ). Dalam ayat lain Allah berfirman , “Apakah kamu beriman kepada sebagian kitab dan kafir kepada sebagian yang lain”.( QS 2 :85 ). Kedua ayat di atas mewajibkan kaum muslimin supaya masuk ke dalam Islam secara utuh dan menyeluruh.
            Namun, sangat disesalkan, tidak sedikit kaum muslimin yang telah terperosok kepada Islam persial ( separoh – separoh ). Betul, dalam bidang ibadah, kematian dan akad perkawinan, umat Islam mengikuti ajaran Islam, tapi dalam bidang dan aktivitas ekonomi, banyak sekali umat Islam mengabaikan ajaran ekonomi syari’ah dan bergumul dengan sistem ekonomi ribawi. Dana umat Islam, seperti ONH atau tabungannya, uang mesjid, uang  Perguruan Tinggi Islam, dana organisasi Islam, uang perusahaan yang dimiliki kaum muslimin, dan dana masyarakat Islam secara luas, te diputar dan dibisniskan secara ribawi melalui bank dan lembaga keuangan yang bukan sesuai dengan prinsip syari’ah Islam.
Kebangkitan Kembali Ekonomi Islam
Baru tiga dasawarsa menjelang abad 21, muncul kesadaran baru umat Islam untuk mengembangkan kembali kajian ekonomi syari’ah. Ajaran Islam tentang ekonomi, kembali mendapat perhatian serius dan berkembang menjadi disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Pada era tersebut lahir dan muncul para ahli ekonomi syariah yang handal dan memiliki kapasitas keilmuan yang memadai dalam bidang mu’amalah. Sebagai realisasi dari ekonomi syariah, maka sejak tahun 1975 didirikanlah Internasional Development Bank ( IDB ) di Jeddah. Setelah itu, di berbagai negara, baik negeri- negeri muslim maupun bukan, berkembang pula lembaga – lembaga keuangan syariah.
Sekarang di dunia telah berkembang lebih dari 400an lembaga keuangan dan perbankan yang tersebar di 75 Negara, baik di Eropa, Amerika, Timur Tengah maupun kawasan Asia lainnya. Perkembangan aset – aset bank mencatat jumlah fantastis  15 % setahun. Kinerja bank – bank Islam cukup tangguh dengan hasil keuntungannya di atas perbankan konvensional. Salah satu bank terbesar di AS, City Bank telah membuka unit syariah dan menurut laporan keuangan terakhir pendapatan terbesar City Bank berasal dari unit syariah. Demikian pula ABN Amro yang terpusat di Belanda dan merupakan bank terbesar di Eropa dan HSBC yanag berpusat di Hongkong serta ANZ Australia, lembaga-lembaga tsb telah membuka unit-unit syariah.
Dalam bentuk kajian akademis, banyak Perguruan Tinggi di Barat dan di Timur Tengah yang mengembangkan kajian ekonomi Islam,di antaranya, Universitas Loughborough Universitas Wales, Universitas Lampeter di Inggris. yang semuanya juga di Inggris. Demikian pula Harvard School of Law, (AS), Universitas Durhem, Universitas Wonglongong Australia, serta lembaga populer di Amerika Serikat, antara lain Islamic Society of north America (ISNA). Kini  Harvard University sebagai universitas paling terkemuka di dunia, setiap tahun menyelenggrakan  Harvard University Forum yang membahas tentang ekonomi Islam.
Bank Syariah di Indonesia
            Di Indonesia, bank Islam baru hadir pada tahun 1992, yaitu Bank Muamalat Indonesia. Sampai tahun 1998, Bank Mualamat masih menjadi pemain tunggal dalam belantika perbankan  syari’ah di Indonesia, ditambah 78 BPR Syari’ah. Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter yang membuat bank-bank konvensional yang saat itu berjumlah 240 mengalami negative spread yang berakibat pada likuidas, kecuali babk Islam.
           Pada November 1997, 16 bank ditutup (dilikuidasi), berikutnya 38 bank, Selanjutnya 55 buah bank masuk kategori BTO dalam pengawasan BPPN. Tetapi kondisi itu berbeda dengan perbankan syari`ah. Hal ini disebabkan karena bank syari`ah tidak dibebani membayar bunga simpa­nan nasabah. Bank syari`ah hanya membayar bagi hasil yang jumlahnya sesuai dengan tingkat keuntungan perbankan syari`ah. Dengan sistem bagi hasil tersebut, maka jelas bank-bank syari`ah selamat dari negative spread.
          Sedangkan bank-bank yang lain bisa selamat karena bantuan pemerintah (BLBI) 700an triliun rupiah yang sampai hari ini bermasalah. Kalau tidak ada BLBI dan rekapitalisasi, berupa suntikan obligasi  dari pemerintah, niscaya semua bank tewas dilikuidasi.
            Pada masa krisis moneter berlangsung, hampir seluruh bank melak­ukan kebijakan uang ketat. Kucuran kredit dihentikan, karena cuaca perekonomian yang tak kondusif, di mana suku bunga yang tinggi pasti menyulitkan nasabah untuk membayar bunganya. Berbeda dengan bank konvensional yang mengetatkan kucuran kred­it, bank syari`ah malah sebaliknya, yaitu dengan mengekstensifkan kucuran pembiyaannya, baik kepada pegusaha kecil maupun menengah. Hal ini terbukti, di masa krisis yang lalu di mana sampai akhir 1998, ketika krisis tengah melanda, bank Muamalat menyalurkan pembiayaan Rp 392 milyard. Dan sampai akhir 1999 ketika krisis masih juga berlang­sung bank Muamalat meningkatkan pembiayaannya mencapai Rp 527 mil­yard, dengan tingkat kemacetan 0% (non ferforming loan). Pada saat itu malah CAR Bank Muamalat sempat mencapai 16,5%, jauh di atas CAR minimal yang ditetapkan BI (hanya 4%).
            Oleh karena itulah pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 10/1998. Dalam Undang-Undang ini diatur dengan rinci landasan hukum, serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syari`ah. Undang-Undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk konversi kepada sistem syari`ah, baik dengan cara membuka cabang syari`ah ataupun konversi secara total ke sistem syari`ah.
            Peluang itu ternyata disambut antusias oleh kalangan perbankan konvensional. Beberapa bank yang  konversi dan akan membuka cabang syari`ah antara lain  bank Syariah Mandiri, Bank IFI Syari’ah, Bank BNI Syariah, BRI Syari’ah, Bank DKI Syari’ah, Bank Bukopin Syari’ah, Bank BTN Syari’ah, Bank Niaga Syari’ah, dll. Kini telah berkembang 19 Bank Syariah, 25 Asuransi Syari’ah, Pasar Modal syari’ah, Pegadaian Syari’ah dan lebih 3200 BMT (Koperasi Syariah), dan Ahad – Net Internasional yang bergerak di bidang sektor riel.
 Kalau pada masa lalu, sebelum hadirnya lembaga–lembaga keuangan syariah, umat Islam secara darurat berhubungan dengan lembaga keuangan ribawi, tetapi pada masa kini, di mana lembaga keuangan syariah telah berkembang, maka alasan darurat tidak ada lagi. Ini artinya, dana umat Islam harus masuk ke lembaga – lembaga keuangan syariah yang bebas riba..
Manfaat Mengamalkan Ekonomi Syari’ah
Mengamalkan ekonomi syariah jelas mendatangkan manfaat yang besar bagi umat Islam itu sendiri, Pertama, mewujudkan integritas seorang muslim yang kaffah, sehingga Islamnya tidak lagi persial. Bila umat Islam masih bergelut dan mengamalkan ekonomi ribawi, berarti keIslamannya belum kaffah, sebab ajaran ekonomi syariah diabaikannya. Kedua, menerapkan dan mengamalkan ekonomi syariah melalui bank syariah, asuransi syari’ah, reksadana syari’ah, pegadaian syari’ah,  atau BMT, mendapatkan keuntungan duniawi dan ukhrawi. Keuntungan duniawi berupa keuntungan bagi hasil, keuntungan ukhrawi adalah terbebasnya dari unsur riba yang diharamkan. Selain itu seorang muslim yang mengamalkan ekonomi syariah, mendapatkan pahala, karena telah mengamalkan ajaran Islam dan meninggalkan ribawi. Ketiga, praktek ekonominya berdasarkan syariah Islam bernilai ibadah, karena telah mengamalkan syari’ah Allah Swt.. Keempat, mengamalkan ekonomi syariah melalui lembaga bank syariah, Asuransi atau BMT, berarti mendukung kemajuan lembaga ekonomi umat Islam sendiri. Kelima, mengamalkan ekonomi syariah dengan membuka tabungan, deposito atau menjadi nasabah Asuransi Syari’ah, berarti mendukung upaya pemberdayaan ekonomi umat Islam itu sendiri, sebab dana  yang terkumpul di lembaga keuangan syariah itu dapat digunakan umat Islam itu sendiri untuk mengembangkan usaha-usaha kaum muslimin. Keenam, mengamalkan ekonomi syariah berarti mendukung gerakan amar ma’ruf nahi munkar, sebab dana yang terkumpul tersebut hanya boleh dimanfaatkan untuk usaha-usaha atau proyek –proyek halal. Bank syariah tidak akan mau membiayai usaha-usaha haram, seperti pabrik minuman keras, usaha perjudian, usaha narkoba, hotel yang digunakan untuk kemaksiatan atau tempat hiburan yang bernuansa munkar, seperti diskotik, dan sebagainya.

Penutup
Dengan hadirnya lembaga- lembaga keauangan syariah, seperti perbankan syari’ah,  asuransi syari’ah, Baitul Mal wat Tamwil (BMT), Reksadana Syari’ah, pasar modal  syari’ah, pegadaian syari’ah,dll, maka menjadi keharusan bagi umat Islam, untuk hijrah dari sistem ekonomi konvensional kepada sistem ekonomi syariah dalam rangka menuju Islam yang kaffah.

Oleh : Agustianto,MA
Muballigh dan Sekjend DPP  Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), Dosen Fikih Muamalah Ekonomi Pascasarjana
Serba Waspada - Mimbar Jumat

17 Jun 05 09:43 WIB
Ibnu Khaldun: Bapak Ekonomi
WASPADA Online
Oleh Agustianto
Marak dan berkembangnya ekonomi Islam pada tiga dasawarsa belakangan ini, telah mendorong dan mengarahkan perhatian para ilmuan modern kepada pemikiran ekonomi Islam klasik. Dalam penjelajahan intelektual yang saya lakukan, khususnya mengambil program doktor ekonomi Islam di UIN Jakarta, ternyata lebih 2000-an judul buku dan tulisan tentang ekonomi Islam sejak masa klasik hingga saat ini. Melihat melimpahnya literatur tentang ekonomi Islam, maka ada dua hal yang sangat disayangkan.
Pertama, dalam daftar bibliografi ekonomi Islam itu, tak satupun diantaranya ada hasil karya tokoh Indonesia. Hal itu terlihat dengan jelas dalam buku Islamic Economics and Finance; A Bibliografy, tulisan Javed Ahmad Khan. Buku ini berisi 1621 karya tulis tentang ekonomi Islam. Demikian pula daftar buku dalam Muslim Economic Thinking tulisan Prof. Dr. Muhammad Nejatullah Ash-Shidiqy, yang meneliti 700 buku ekonomi Islam, tak satupun mencantumkan karya ulama Indonesia.
Kedua, yang paling disayangkan lagi adalah sikap para intelektual muslim atau ulama dalam dua abad belakangan ini yang tidak melanjutkan dan mengembangkan kajian ekonomi Islam yang telah dirintis dan dibangun oleh para ulam terdahulu. Intelektual dan ulama kita di era kontemporer ini, lebih banyak fokus pada kajian pengembangan materi fikih ibadah, munakahat, teologi (ilmu kalam), pemikiran Islam dan tasawauf, disamping ilmu-ilmu tafsir dan hadits.
Maka tak heran jika mereka dangkal sekali pengetahuannya tentang ilmu ekonomi Islam, termasuk soal bunga bank dan dampaknya terhadap inflasi, investasi, produksi dan pengangguran juga spekulasi dan stabilitas moneter. Mereka mengabaikan kajian-kajian ekonomi Islam yang ilmiah dan empiris yang telah dilakukan ilmuwan Islam klasik. Fenomena itulah yang disesalkan Prof. Dr. Muhammad Nejatullah Ash-Shidiqy, guru besar ekonomi Univ. King Abdul Aziz Saudi. Ia mengatakan,
"The ascendancy of the Islamic civilization and its dominance of the wold scene for a thousand years could not have been unaccompanied by economic ideas as such. From Abu Yusuf in the second century to Thusi and Waliullah we get a contiunity of serious discussion on taxation, goverment expenditure, home economic, money and exchange, division of labour, monopoly, price control, etc, Unfortunelly no serious attention has been paid to this heritage by centers of academic research in economics. (Muslim Economic Thinking, Islamic Fondation United Kingdom".
(Kejayaan peradaban Islam dan pengaruhnya atas panggung sejarah dunia untuk 1000 tahun, tidak mungkin tanpa diiringi dengan ide-ide ekonomi dan sejenisnya. Dari Abu Yusuf pada abad ke 2 Hijriah sampai ke Thusi dan Waliullah (abad 18), kita memiliki kesinambungan dari serentetan pembahasan yang sungguh-sungguh mengenai perpajakan, pengeluaran pemerintah, ekonomi rumah tangga, uang dan perdagangan, pembagian kerja, monopoli, pengawasan harga dan sebagainya. Tapi sangat disayangkan, tidak ada perhatian yang sungguh-sungguh yang diberikan atas khazanah intelektual yang berharga ini oleh pusat-pusat riset akademik di bidang ilmu ekonomi).
Dimasa klasik Islam, yang sejak abad 2 Hijriah s/d 9 hijriah, banyak lahir ilmuwan Islam yang mengembangkan kajian ekonomi (bukan fikih muamalah), tetapi kajian ekonomi empiris yang menjelaskan fenomena aktual aktivitas ekonomi secara ril di masyarakat dan negara, seperti mekanisme pasar (supply and demand), public finance, Kebijakan fiskal dan moneter, pemikiran ulama tentang ekonomi Islam di masa klasik sangat maju dan cemerlang, jauh mendahului pemikir Barat modern seperti Adam Smith, Keynes, Ricardo, dan Malthus.
Bapak Ekonomi
Di antara sekian banyak pemikir masa lampau yang mengkaji ekonomi Islam, Ibnu Khaldun merupakan salah satu ilmuwan yang paling menonjol. Ibnu Khaldun adalah raksasa intelektual paling terkemuka di dunia. Ia bukan saja Bapak sosiologi tetapi juga Bapak ilmu Ekonomi, karena banyak teori ekonominya yang jauh mendahului Adam Smith dan Ricardo.
Artinya, Ia lebih dari tiga Abad mendahului para pemikir Barat modern tersebut.
Muhammad Hilmi Murad telah menulis sebuah karya ilmiah berjudul Abul iqtishad: Ibnu Khadun. Artinya, Bapak Ekonomi: Ibnu Khaldun (1962). Dalam tulisan tersebut Ibnu Khaldun dibuktikannya secara ilmiah sebagai pengagas pertama ilmu ekonomi secara empiris. Karya tersebut disampaikan pada simposium tentang Ibnu Khaldun di Mesir 1978.
Sebelum Ibnu Khaldun, kajian-kajian ekonomi di dunia Barat masih bersifat normatif, adakalanya dikaji dari perspektif hukum, moral dan ada pula dari perspektif filsafat. Karya-karya tentang ekonomi oleh para ilmuwan Barat, seperti ilmuwan Yunani dan zaman Scholastic bercorak tidak ilmiah karena pemikir zaman pertengahan tersebut memasukkan kajian ekonomi dalam kajian moral dan hukum.
Sedangkan Ibnu Khaldun mengkaji problem ekonomi masyarakat dan negara secara empiris. Ia menjelaskan fenomena ekonomi secara aktual. Muhammad Nejatullah Ash-Shidiqy, menuliskan poin-poin penting dari materi kajian Ibnu Khaldun tentang ekonomi.
(Ibnu Khaldun membahas aneka ragam masalah ekonomi yang luas, termasuk ajaran tentang nilai, pembagian kerja, sistem harga, hukum penawaran dan permintaan, konsumsi dan produksi, uang, pembentukan modal, pertumbuhan penduduk, makro ekonomi dari pajak dan pengeluaran publik, daur perdagangan, pertanian, industri dan perdagangan, hak milik dan kemakmuran, dan sebagainya. Ia juga membahas berbagai tahapan yang dilewati masyarakat dalam perkembangan ekonominya. Kita juga menemukan paham dasar yang menjelma dalam kurva penawaran tenaga kerja yang kemiringannya berjenjang mundur).
Ibn Khaldun telah menemukan sejumlah besar ide dan pemikiran ekonomi fundamental, beberapa abad sebelum kelahiran "resminya" (di Eropa). Ia menemukan keutamaan dan kebutuhan suatu pembagian kerja sebelum ditemukan Smith dan prinsip tentang nilai kerja sebelum Ricardo. Ia telah mengolah suatu teori tentang kependudukan sebelum Malthus dan mendesak akan peranan negara di dalam perekonomian sebelum Keynes. Bahkan lebih dari itu, Ibn Khaldun telah menggunakan konsepsi-konsepsi ini untuk membangun suatu sistem dinamis yang mudah dipahami dimana mekanisme ekonomi telah mengarahkan kegiatan kepada fluktuasi jangka panjang.
Lafter, penasehat economi president Ronald Reagen, yang menemukan teori Lafter Curve, berterus terang bahwa ia mengambil konsep Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun mengajukan obat resesi ekonomi, yaitu mengecilkan pajak dan meningkatkan pengeluaran (ekspor) pemerintah. Pemerintah adalah pasar terbesar dan ibu dari semua pasar dalam hal besarnya pendapatan dan penerimaannya. Jika pasar pemerintah mengalami penurunan , maka adalah wajar jika pasar yang lainpun akan ikut turun, bahkan dalam agregate yang cukup besar.
S.Colosia berkata dalam bukunya, Contribution A L'Etu-de D'Ibnu Khaldun Revue Do Monde Musulman, Sebagaimana dikutip Ibrahim Ath-Thahawi, mengatakan. "Apabila pendapat-pendapat Ibnu Khaldun tentang kehidupan sosial menjadikannya sebagai pionir ilmu filsafat sejarah, maka pemahamannya terhadap peranan kerja, kepemilikan dan upah, menjadikannya sebagai pionir ilmuwan ekonomi modern". (1974, hlm. 477).
Oleh karena besarnya sumbangan Ibnu Khaldun dalam pemikiran ekonomi, maka Boulakia mengatakan, "Sangat bisa dipertanggung jawabkan jika kita menyebut Ibnu Khaldun sebagai salah seorang Bapak ilmu ekonomi." Shiddiqi juga menyimpulkan bahwa Ibn Khaldun secara tepat dapat disebut sebagai ahli ekonomi Islam terbesar (Ibnu Khaldun has rightly been hailed as the greatest economist of Islam) (Shiddiqy, hlm. 260).
Sehubungan dengan itu, maka tidak mengherankan jika banyak ilmuwan terkemuka kontemporer yang meneliti dan membahas pemikiran Ibnu Khaldun, khsususnya dalam ekonomi. Doktor Ezzat menulis disertai tentang Ibnu Khaldun berjudul Production, Distribution and Exchange in Khaldun's Writing dan Nasha't menulis "al-Fikr al-iqtisadi fi muqaddimat Ibn Khaldun (Economic Though in the prolegomena of Ibn Khaldun). Selain itu kita masih memiliki konstribusi kajian yang berlimpah tentang Ibnu Khaldun.
Ini menunjukkan kebesaran dan kepeloporan Ibnu Khaldun sebagai intelektual terkemuka yang telah merumuskan pemikiran-pemikiran Briliyan tentang ekonomi. Rosenthal misalnya telah menulis karya Ibn Khaldun the muqaddimah : An Introduction to History, Spengler menulis buku Ekonomic Thought of Islam: Ibn Khaldun, Boulakia menulis Ibn Khaldun: A Fourteenth Century economist, Ahmad Ali menulis Economics of Ibn Khaldun-A Selection, Ibn al Sabil menulis Islami ishtirakiyat fi'l Islam, Abdul Qadir Ibn Khaldun ke ma'ashi khalayat". (Economic Views of Ibn Khaldun), Rifa'at menulis Ma'ashiyat par Ibn Khaldun ke Khalayat" (Ibn Khaldun's Views on Economic) Somogyi menulis buku Economic Theory in the Classical Arabic Literature, Tahawi al-iqtishad al-islami madhhaban wa nizaman wa dirasah muqaranh. (Islamic Economics-a School of Thought and a System, a Comparative Study), T.B Irving menulis Ibn khaldun on Agriculture"' Abdul Satar menulis buku Ibn Khaldun's Contribution to economic Thought " in: Contemporary Aspects of economic and Social Thingking in Islam.
Penutup
Paparan di atas menunjukkan bahwa tak disangsikan lagi ibnu Khaldun adalah Bapak ekonomi yang sesungguhnya.
Dia bukan hanya Bapak ekonomi Islam, tapi Bapak ekonomi dunia. Dengan demikian, sesungguhnya beliaulah yang lebih layak disebut bapak ekonomi dibanding Adam Smith yang diklaim barat sebagai bapak ekonomi melalui buku The Wealth of nation.
Karena itu sejarah ekonomi perlu diluruskan kembali agar umat Islam tidak sesat dalam memahami sejarah intelektual umat Islam. Tulisan ini tidak bisa menguraikan pemikiran Ibnu Khaldun secara detail, karena ruang yang terbatas dan lagi pula pemikirannya terlalu ilmiah dan teknis jika dipaparkan di sini. Teori ekonomi Ibnu Khaldun secara detail lebih cocok jika dimuat dalam journal atau buku.
* Penulis adalah dosen IAIN-SU kini sedang kuliah Program Doktor Ekonomi Islam di UIN Jakarta.

Friday, September 09, 2005

Dari Ibnu Khaldun, Peradaban Islam, sampai Kebangkitan Islam

Dulu, pada waktu yang saya sendiri lupa kapan, Tepo alias Otep Kurnia dengan saya pernah jalan bareng dari kampus ke Simpang Dago. Untuk mengusir sepi, kami berniat ngobrol. Kami sepakat, topiknya ga boleh berat-berat. Iyalah, buat ngusir sepi sambil jalan doang aja pake yang berat-berat! Dan akhirnya kami sepakat untuk ngobrol tentang... Peradaban ! (Dhian Coek !! yang kaya gini ama dia dianggap ringan!)

Obrol punya obrol, singkat kata, kami tiba-tiba jadi ngomongin Ibnu Khaldun, seorang budayawan dan ilmuwan Muslim yang pemikiran-pemikirannya cukup dominan pada masanya (waktu Islam sedang jaya-jayanya), dan kurang lebih, mungkin masih relevan sampai sekarang. Pemikiran-pemikirannya dalam hal sosiologi sebenarnya, sedikit banyak, mendasari berdirinya ilmu sosiologi modern seperti yang sekarang ini kita kenal. Saya masih ingat, beberapa buku referensi Sosiologi SMA ada yang mencantumkan nama Ibnu Khaldun sebagai salah seorang "bapak sosiologi". Tentu, predikat ini ga terdapat di SEMUA buku sosiologi, terutama yang sudah terlanjur didominasi dengan nama-nama "barat".

Terkait dengan peradaban, Otep menceritakan tentang sebuah buku, atau mungkin lebih tepat disebut sebagai naskah, karangan Ibnu Khaldun, yang judulnya Muqodimah. Okelah, ga semua isi naskah itu berbicara tentang peradaban. Tapi ada satu teori, atau analisis, yang disusunnya mengenai peradaban. Ibnu Khaldun (IK) ga ngomongin peradaban dari sisi historis, ato time-line, ato perkiraan-perkiraan menakutkan tentang benturan antar peradaban seperti Huttington. IK secara gamblang justru membahas benang merah kemunculan dan kematian peradaban-peradaban, dari segi ciri-ciri dan humanismenya, dalam pengertian, dia banyak membahas tentang faktor manusia yang mempengaruhi peradaban itu.

Secara eksplisit, IK menceritakan (kata Otep loh) bahwa orang-orang yang kemudian memimpin peradaban itu adalah orang-orang (kaum) yang telah melalui tempaan, hidup yang KERAS, makan daging (eksplisit : makan daging), dan melalui berbagai "ujian" dalam kehidupannya. Dan peradaban biasanya mengalami kemunduran, biasanya, saat orang-orangnya mulai hidup nyaman, tenang, menyibukkan diri dengan musik dan makan/minum, dan yang paling penting, ga punya musuh.
Wah, lucu juga analisisnya dia. Meskipun mungkin analisis semacam ini udah sering kita denger, ato mungkin kita pikirkan, tapi pada masa itu (waktu IK masih idup maksudnya), analisis semacam ini bisa dibilang... langka (kalo ga mau dibilang "ngapain juga mikirin ginian...")

Selepas obrolan dengan Otep, dengan ditemani segelas kopi dan sebatang Dji Sam Soe (gila, promosi!) dalam dinginnya malam, ternyata obrolan itu belom lepas dari pikiran saya.

Karena kalau dipikir-pikir, bener juga ya...

Oke, mari kita lihat, peradaban mana yang mau kita ambil jadi contoh?
Mongol? Mongol adalah sebuah bangsa pengembara. Mereka hidup di lahan yang tandus, dan harus berjuang keras hanya untuk sekedar mencari makan untuk koloni-koloninya. Tapi karena kultur pengembara itu, mereka jadi terkenal dengan pasukan berkudanya yang kuat. Bisa kita anggap, bahwa hari-hari (abad-abad sih sebenernya) bangsa mongol mengarungi kehidupan dengan cara begini adalah tempaan seperti yang dimaksud oleh IK. Dan mereka sukses menghancurkan kekaisaran China waktu itu, juga sesuai dengan analisis IK, selain karena mongol telah melalui ujiannya, juga karena peradaban cina sedang berada di puncak. perdagangan maju, negara besar, musuh ga ada yang sepadan. Akibatnya, kekaisaran cina waktu itu dipenuhi oleh korupsi dan rakyat yang tidak terbiasa untuk hidup keras. Dua-duanya klop. Maka terjadilah kemunculan peradaban Mongol dan turunnya peradaban Cina.
Lalu dalam perkembangannya, masa-masa dibawah penjajahan Mongol adalah masa-masa ujian dan penempaan bagi Cina. Mongol yang sudah menyebar sampai eropa mulai mencapai puncak peradabannya.
Dan setelah di puncak, satu-satunya jalan adalah turun, bukan? Ya, dan pergeseran peradaban pun terjadi lagi, dengan arah terbalik.

Romawi? Kekaisaran roma dimulai dengan darah dan peperangan. Inilah masa penempaan untuk Roma. bahkan, dalam mitosnya, konon nenek moyang/asal-usul Bangsa Roma adalah dua orang anak (Romus dan Romulus) yang yatim piatu dan harus menyusu pada seekor serigala. Jadi sejak lahirnya pun, setiap anak bangsa roma sudah dicekoki pemikiran bahwa hidup adalah perjuangan. Dan romawi hancur setelah mereka sudah di puncak dan tidak ada lagi yang bisa mengalahkan mereka. Mereka bahkan mengalahkan Mesir (yang sudah lebih dulu berada di puncak sampai2 tidak punya lagi bala tentara yang kuat). Korupsi merajalela, dan peradaban roma dipenuhi ketimpangan ekonomi, musik, sastra, dan minuman keras. Kekaisaran romawi kemudian dibagi 2, di konstantinopel dan di Roma, yang ternyata sama saja bobroknya, dan tidak bisa bertahan ketika peradaban Islam mulai merangsek maju.

Amerika? Bangsa Amerika yang saat ini menjadi negara adidaya itu sebenarnya tidak mengenal istilah "pribumi". Karena memang, pada dasarnya mereka adalah pilgrims dari eropa. Tempaan untuk mereka sudah dimulai sejak pertemuan mereka dengan bangsa2 Indian di Amerika Tengah dan Utara. Bahkan setelah negara Amerika berdiri pun, mereka dilanda perang saudara utara-selatan dan peperangan-peperangan tak berkesudahan dengan Perancis, Inggris, dsb2... BElum lagi, kalau pernah nonton film Gangs of New York, bagaimana peperangan antar kelas ekonomi dan antar kelompok urban telah menjadi keseharian orang2 Amerika abad 16-18. Bangsa mereka dibangun dengan darah, dan itu satu tempaan untuk mereka.

Jepang? setelah dibom atom oleh Amerika, kita tau sama tau bagaimana jadinya Jepang sekarang. Tapi lebih dari itu, kita juga bisa melihat bagaimana kerasnya hidup, budaya/adat dan tradisi orang2 jepang, yang seakan2 memang mempersiapkan mereka untuk menjadi salah satu penguasa peradaban.

Secara eksplisit, dapat kita lihat bahwa sejarah memang selalu menceritakan terlebih dahulu perjuangan, pergulatan, dan pengorbanan sebuah bangsa sebelum bangsa itu maju dan menjadi salah satu pemimpin perubahan peradaban.

Lalu bagaimana dengan peradaban Islam? Sepertinya akan menjadi kurang afdol bila kita membicarakan peradaban Islam tanpa sekaligus menganalisis peradaban Eropa (dan "barat" secara keseluruhan) yang timbul tenggelamnya lebih banyak saling berkaitan.

Mengapa Islam bisa begitu menguasai peradaban selama 7 abad?
kaum muslim awal dan Rasulullah pun mengalami tempaan dan ujian dalam konteksnya sendiri. Sepertinya memang ada sebuah prakondisi yang ditetapkan Allah bagi suatu kaum sebelum kaum/bangsa itu bisa maju dalam peradaban. Dan peradaban Islam pun demikian. Peristiwa pengusiran Rasulullah dan umat muslim pertama dari mekkah sehingga mereka hidup di gurun selama 8 tahun... bukankah itu sebuah tempaan? lalu peperangan yang terjadi pada masa2 awal kekhalifahan, itu pun menjadi sebuah tempaan bagi peradaban Islam.

Oke, dari segi waktu, memang agak2 "tidak adil" misalnya apabila kita membandingkan tempaan umat Muslim awal dengan... sebulah bangsa viking, yang harus ditempa alam yang dingin dan keberanian mengarungi lautan dengan peperangan2 mengerikan selama berabad-abad sebelum menjadi kaum yang unggul dalam masa mereka. Disinilah teori relativitas Einstein dalam konteks waktu menjadi relevan. Karena kita tidak tahu perbedaan antara "lama" dengan "sebentar". Tapi yang jelas, Allah sepertinya tidak berkehendak untuk memberikan satu privelege pada umat Islam untuk tidak memenuhi prakondisi itu.

Lalu bagaimana dengan kemunduran peradaban Islam?

Kemunduran peradaban Mongol dan Romawi sudah disinggung sedikit di atas. Selain karena faktor kehidupan urban masyarakatnya, sedikit banyak kemunduran 2 peradaban tersebut juga disebabkan oleh hilangnya figur pemimpin ideal di mata peradaban tersebut (Jengis Khan di Mongol dan Julius Caesar di Romawi). Tetapi selain itu, kemunduran sebuah peradaban juga biasanya ditandai oleh menyeruak naiknya peradaban yang baru.

Demikian juga dengan peradaban Islam.
Selama 700 tahun, peradaban Islam begitu dominan di dunia kala itu. Bangsa-bangsa eropa yang memasuki negeri-negeri muslim seperti Baghdad atau Turki atau Cordoba dan Barcelona di Spanyol tidak berbeda layaknya orang udik yang melihat Jakarta untuk pertama kalinya. Perkembangan ilmu pengetahuan, baik yang bersifat eksak maupun sosial begitu pesatnya. Sebagai contoh, tidakkah nama2 Al-jabar atau Al-khemi berbau2 Arab yang notabene merupakan bangsa yang mendominasi kaum Muslim awal? Al Jabar memang adalah seorang jenderal perang yang menemukan bilangan 0 yang kemudian menjadi dasar berkembangnya disiplin ilmu Aljabar dan matematika secara umum.
Perkembangan dan kekuatan Islam saat itu memang tidak tertandingi.

Akan tetapi, setelah periode 700 tahun itu, negeri2 Islam memang mencapai titik puncaknya, dan sebenarnya (apabila kita masih merujuk pada analisis IK), inilah awal dari kemunduran suatu peradaban. Dan memang benar, pola hidup urban, dikuranginya bala tentara, berkurangnya semangat jihad karena memang musuhnya sudah tidak ada, menjadi pola hidup yang dominan di negeri-negeri Islam.

Pada saat yang sama, pada abad 6/7-15 itu, dataran dan peradaban bangsa2 eropa sedang berada pada era yang (oleh orang2 eropa) disebut sebagai "zaman kegelapan" (dark ages). Ilmu-ilmu mistik berkembang pesat, ilmu pengetahuan dan teknologi serta filsafat mandek karena dianggap bertentangan dengan agama, kehidupan beragama yang kacau balau, disorientasi visi, dan peperangan-peperangan di kalangan kerajaan2 eropa mewarnai era ini di Eropa. Kehidupan menjadi tidak manusiawi di Eropa, dan banyak masyarakat Eropa yang menemukan pencerahan dan "pelarian" di negeri-negeri muslim.

Masa kegelapan inilah, yang nampaknya menjadi masa penempaan yang digariskan Allah pada bangsa-bangsa Eropa. Ini sebenarnya sudah menjadi prakondisi bahwa bangsa Eropa, pada waktunya, akan memimpin peradaban.

Dan benarlah, masyarakat dan bangsa Eropa yang sepertinya sudah muak dan jenuh dengan kehidupan mereka mulai membuat revolusi2 mental dan pemikiran yang radikal. Pencurian ilmu-ilmu pengetahuan dari peradaban Islam dan perombakan revolusioner kehidupan beragama menjadi awal dari era yang kemudian mereka sebut Renaissance/Aufklarung (masa pencerahan). Masa ini juga ditandai dengan kemunculan agama Kristen Protestannya Marthen Luther di Jerman sebagai bentuk revolusi terhadap kehidupan beragama katholik ortodoks Roma yang dinilai sudah ternoda dan terlalu mengekang perubahan.

Dua peradaban yang kondisinya bertolak belakang ini (Islam dan Eropa) kemudian "berbenturan" dalam peperangan-peperangan, baik perang pemikiran maupun perang secara fisik. Semangat Eropa untuk menyebarkan agama Katholik dan Kristen melalui misi-misi misionaris berbenturan dengan akidah Islam di negeri-negeri muslim. Sedikit banyak, faktor adanya "musuh bersama" ini juga yang menjadi salah satu perekat bangsa-bangsa Eropa. Rasulullah Muhammad SAW yang oleh bangsa Eropa namanya diplesetkan menjadi "Mahound" (tukang sihir) atau "the great pretender"(terkait dengan sebuah ramalan dalam Alkitab mengenai kedatangan seorang "anti-kristus" yang akan memutarbalikkan ajaran2 Yesus dengan muslihat2 yang rasional), menjadi sebuah ikon yang mempersatukan Eropa. Ini kemudian menjadi sebab berkobarnya Perang Salib. Dalam Perang Salib inilah sebenarnya dapat kita lihat wujud nyata dari benturan antar peradabannya Huttington.

Dalam Perang Salib I, kekuatan Eropa ternyata belum mampu menggoyahkan dominasi negara-negara Muslim, tetapi itu sudah cukup untuk mengobarkan semangat lebih banyak lagi orang Eropa untuk berperang.
Kondisi peradaban Islam sendiri, karena memang sudah terlena dengan kemajuan peradaban dan tidak adanya musuh yang dapat menandingi mereka, menjadi lemah dan rentan terhadap godaan-godaan pemikiran. Kelemahan akidah dan semangat ukhuwah inilah yang kemudian memberi jalan bagi kemenangan Eropa pada Perang Salib II. Peperangan brutal dan aliran darah menandai benturan yang kedua ini.

Contoh nyatanya mungkin dapat kita lihat pada Cordoba (Spanyol) dan Turki.

Kita tahu betapa melekatnya citra alat musik Gitar dengan negeri Spanyol. Konon, Gitar sebenarnya baru muncul di Spanyol pada sekitar abad 13-15. Alat musik inilah yang konon membuat pemuda-pemuda Muslim terlena dengan musik dan kehidupan duniawi. Mereka mulai menciptakan tarian-tarian dengan diiringi wanita dan gitar, dan larut dalam hedonisme sehingga meninggalkan sholat dan latihan fisik untuk mempersiapkan diri menghadapi jihad Perang Salib. Inilah yang kemudian membuat Cordoba takluk setelah selama 400 tahun menjadi salah satu negara Muslim terbesar di Eropa. Begitu juga dengan Turki yang dibuat mati secara pemikiran/semangat, sehingga arus sekulerisme begitu mudah masuk, yang dimulai oleh Mustapha Kemal Pasha (Kemal Attatuurk/Kemal sang Pembangun) dengan revolusinya yang sebenarnya tidak lebih dari penyusupan nilai-nilai sekuler kedalam akidah umat muslim Turki.

Penaklukan Cordoba menandai berakhirnya dominasi peradaban Muslim di Eropa, dan praktis, peradaban Muslim yang kala itu tidak mampu ditembus oleh Eropa hanya tersisa di jazirah Arab. Itupun, terus dikacaukan dengan perang-perang pemikiran sampai saat ini.

Memang banyak yang mengkambinghitamkan Eropa dalam kemunduran peradaban Islam. Akan tetapi, satu hal yang harus diperhatikan oleh umat muslim sebenarnya adalah bahwa kemajuan Eropa itu sebenarnya tidak akan bisa terjadi kalau prakondisi2nya tidak terpenuhi. Dan salah satu prakondisi itu adalah kemunduran/kelemahan dari peradaban yang akan digantikan. Dalam konteks ini berarti, saham terbesar dari kejatuhan peradaban Islam tidak terletak pada kemajuan Eropa, tapi justru pada melemahnya akidah dan semangat jihad di peradaban Islam sendiri, atau notabene, umat muslim yang mengusung peradaban itu.

Terakhir, satu analisis lagi adalah dari konteks waktu. Bisa kita lihat bahwa "umur" sebuah peradaban biasanya tidak jauh dari selang waktu 5-7 abad, yang dimulai dari peradaban Mesir lebih kurang 300 tahun sebelum masehi. Begitupun umur kejayaan peradaban Islam yang berusia kurang lebih 7 abad.

Artinya, kalau kita melihat bahwa umur kejayaan peradaban Eropa yang saat ini sudah mencapai 7 abad, seharusnya Eropa saat ini sedang berada di titik jenuh, titik puncak. Adapun saat ini, satu-satunya peradaban yang bisa kita anggap mampu menyaingi Eropa adalah Islam. Masa 7 abad itu juga seharusnya sudah lebih dari cukup untuk menjadi masa penempaan bagi Umat Islam. Artinya, seharusnya saat ini, peradaban Islam sedang bergerak untuk kembali muncul sebagai pemimpin dunia.

Bangsa2 barat (termasuk AS dan Eropa) sepertinya menyadari betul analisis dari IK ini. Inilah sebabnya perang peradaban yang sedang terjadi saat ini adalah berupa perang pemikiran/ideologi. Tujuannya tidak lain, adalah untuk membuat umat Islam lupa, bahwa mereka sedang dijajah. Dengan demikian, umat Islam tidak akan tergerak untuk bangkit.

Apabila ummat Islam tidak secepatnya menyadari hal ini...

Sebenarnya, dewasa ini, pemikiran Ibnu Khaldun sepertinya telah mengilhami sebuah konsep yang kemudian akan berperan besar dalam teori-teori konspirasi. Konsep itu adalah konsep "manajemen konflik". Loh? kok manajemen konflik? Mungkin akan saya bahas dalam posting lain yang secara spesifik akan bercerita tentang... Amerika Serikat.

Terakhir...
Hal lain yang membuat saya penasaran dengan pemikiran Ibnu Khaldun adalah...
Masih ingat, judul naskah yang saya dan Otep bicarakan sebelum saya memikirkan hal ini adalah "Muqodimah". Dalam bahasa Indonesia, kata itu kira-kira berarti "Pembukaan". Artinya, naskah itu sebenarnya hanya merupakan pengantar, pembuka dari sesuatu yang tentunya lebih besar.

Naskah Muqodimah sendiri, konon dalam versi bahasa Inggrisnya, diterbitkan sebanyak 3 jilid, dengan masing-masing jilid lumayan tebal.

Bayangkan ilmu yang terkandung dari apa yang diantarkan oleh Muqodimah itu...



Shaliba dan Semangat Filsafat Arab

Sunaryo

Apa yang anda rasakan ketika mengkaji filsafat Arab jika dibandingkan dengan filsafat Barat? Pada umumnya akan menjawab kurang menarik. Berangkat dari kenyataan ini, Jamil Shaliba, penulis buku al-Falsafah al-‘Arabiyyah (Filsafat Arab, 1970), berusaha menampilkan kajian filsafat Arab agar lebih menarik. Menurut Shaliba, ketaktertarikkan para pembaca terhadap filsafat Arab bukan karena pada filsafat Arab itu sendiri, melainkan pada masalah penyajian. Dalam pandangannya, kegagapan para pengajar dan penulis filsafat Arab dalam memahami maksud filsuf Arab dan kesulitan memaknai teks-teks arab menjadi kendala utama agar dapat menampilkan filsafat Arab secara menarik (h.11). Buku yang diberi judul al-Falsafah al-Arabiyyah berupaya mengatasi persoalan-persoalan teknis ini.

Jamil Shaliba menyajikan al-Falsafah al-Arabiyyah dengan bahasa yang lebih mengalir dan mudah dipahami bila dibandingkan dengan buku-buku sejenis, seperti al-Turats al-Yunani fi al-Hadarat al-Islamiyah Abdurrahman Badawi yang diterjemahkan dari bahasa Italia, atau buku ­al-Fikr al-Arabi karya De Lacy O 'Leary. Shaliba merangsang gairah pembaca agar tertarik mengkaji dan mendalami filsafat Arab dengan mengangkat kembali teks-teks asli para filsuf dan disertai dengan kemungkinan mengusung tema-tema baru dari filsuf tersebut. Menurutnya, pengaruh filsafat Arab terhadap filsafat Barat modern lebih besar bila dibandingkan dengan pengaruh filsafat Barat modern terhadap filsafat Arab kontemporer (h.12). Karenanya, kajian atas perkembangan filsafat dalam dunia Arab dan Islam bukanlah kajian yang remeh-temeh.

Tema-tema tentang Ada, yang satu (monistik), yang banyak (pluralistik), hubungan antara Tuhan dan makhluknya, ruang dan waktu, gerak dan diam serta jiwa dan akal adalah tema-tema yang kerap didiskusikan dan diperdebatkan oleh filsuf-filsuf Arab dan kemudian menjadi tema-tema filsafat di dunia Barat modern. Atas dasar pertautan pemikiran ini maka sulit sekali membayangkan perkembangan filsafat di Barat tanpa peran para filsuf-filsuf Arab sebelumnya. Hal yang sama juga dapat dialamatkan pada filsafat Arab klasik. Sulit membayangkan gairah filsafat di dunia Arab tanpa penerjemahan buku-buku filsafat yang berbahasa Yunani dan Suryani oleh para penerjemah Kristen Nestorian, Yahudi dan kaum Shabi’ yang kebetulan menguasai dua bahasa tersebut.

Shaliba mencatat ciri persamaan dan perbedaan antara filsafat Arab dan filsafat Yunani. Persamaan antara dua filsafat ini ada pada kepercayaan yang sangat besar terhadap peran rasio sebagai sumber pengetahuan dan sebagai metode. Keduanya percaya bahwa dengan rasio maka hakikat sesuatu dapat ditangkap (h.23). Filsuf seperti al-Farabi yang dijuluki guru kedua, di mana yang menjadi guru pertama adalah Aristoteles, dan Ibnu Rushd yang juga sangat tergila-gila pada filsafat Aristoteles adalah filsuf-filsuf yang sangat gigih memperjuangkan peran rasio sebagai sumber pengetahuan alat untuk memahami agama.  Sementara titik perbedaanya ada pada tujuan dan maksud kaduanya dalam menggumuli filsafat. Bagi filsuf Yunani, filsafat semata-mata dipandang sebagai sesuatu yang estetis, sementara bagi filsuf Arab, filsafat dipandang dengan kerangka agama. Karenaya tema-tema yang sempat berkembang dan dikembangkan oleh filsuf Arab adalah tentang relevansi filsafat bagi agama, seperti harmonisasi hubungan agama dan filsafat serta pembuktian adanya Tuhan (24-25).

Dari judul yang dibuat oleh Shaliba, para pembaca akan tergelitik untuk bertanya, mengapa Shaliba memberi judul bukunya filsafat Arab bukan filsafat Islam? Bukankah para filsuf yang dibahas dalam buku ini lebih dikenal sebagai filsuf Islam bukan filsuf Arab. Dengan menyebut Arab, seharusnya ia mengekslusikan Ibnu Sina dan al-Ghazali yang berasal dari Persia dan al-Farabi yang berasal dari Turki. Dan bukankah juga motif para filsuf ini lebih didorong oleh motif dan semangat peradaban Islam dibandingkan semangat kearaban. Atas pertanyaan-pertanyaan ini, Shaliba memberikan jawabannya. Pertama, gairah filsafat di dunia Arab bukanlah jerih payah orang Islam saja. Sumbangan yang juga tidak boleh dilupakan adalah peran besar para penerjemah yang hampir sembilanpuluh persen bukan orang Islam. Mereka adalah orang-orang  Kristen Nestorian, Yahudi dan kaum Shabi’. Kedua, karya-karya filsuf yang dibahas dalam buku ini ditulis dalam bahasa Arab. Ketiga, bahasa agama yang dianut oleh para filsuf ini, kitabnya dan nabinya adalah berbahasa Arab. Dan keempat, bila buku ini diberi judul filsafat Islam maka ada keharusan bagi penulis untuk memasukkan filsuf-filsuf Islam yang tidak menulis dalam bahasa Arab. Namun setelah memberikan jawabannya ini, Shaliba menyatakan bahwa sebenarnya ia tidak terlalu mempersoalkan judul bukunya ini. Filsafat Arab atau filsafat Islam menurutnya sama saja. Ia mengatakan, pemikiran filsafat yang ada dalam bukunya ini adalah filsafat Arab yang dibentuk oleh Islam atau filsafat Islam yang ditulis dalam bahasa Arab (10-11). 

* * *

Tesis utama yang ingin disampaikan oleh Shaliba dalam bukunya adalah pertautan erat filsafat Yunani bagi filsafat Arab. Tesis ini ia sajikan dalam bentuk studi tokoh dengan menampilkan dua filsuf Yunani yang paling berpengaruh bagi dunia Arab atau Islam, Plato dan Aristoteles, empat filsuf Islam yang berasal dari wilayah timur dan dua dari wilayah barat. Filsuf yang berasal dari wilayah timur adalah al-Farabi, Ibnu Sina, Abu al-‘Ala al-Ma’arry dan al-Ghazali, sementara yang berasal dari wilayah barat adalah Ibnu Rushd dan Ibnu Khaldun.

Bila melihat tokoh-tokoh filsuf Islam yang dikaji, tampak ada sesuatu yang baru yang ingin ditampilkan oleh Shaliba. Kehadiran Abu al-‘Ala al-Ma’arry, al-Ghazali dan Ibnu Khladun sebagai filsuf memberikan makna bahwa yang dimaksud filsafat oleh Shaliba adalah pengertian filsafat dalam arti luas. Hal ini dikarenakan Abu al-‘Ala al-Ma’arry kurang dikenal sebagai tokoh filsuf, ia lebih dikenal sebagai penyair, Al-Ghazali sebagai teolog dan Ibnu Khaldun sebagai sejarawan Islam. Mereka bukanlah para tokoh seperti al-Farabi yang begitu giat mengomentari karya-karya klasik Yunani dan menghasilkan karya utama tentang filsafat politik, al-Madinah al-Fadilah (Negara Utama), atau Ibnu Sina yang asik dengan keruwetan membaca metafisika Aristoteles yang ia bacanya berpuluh-puluh kali, atau bahkan seperti Ibnu Rushd, Sang Rasionalis Islam, yang berupaya keras mengharmonisasikan hubungan filsafat dan agama.

Tentu saja tidak buruk bila Shaliba menampilkan Abu al-Ala al-Ma’arry, al-Ghazali dan Ibnu khaldun sebagai filsuf Arab, bahkan memang sudah selayaknya seperti itu. Dalam sebuah artikel tentang pemikiran Arab kontemporer, Luthfie Syaukani mencatat tiga gerakan utama yang dilakukan oleh intelektual Arab kontemporer untuk membangkitkan kembali gairah filsafat di dunia Arab. Pertama, penerjemahan karya-karya filsafat Islam ke bahasa non-Arab, menyunting dan menerbitkannya kembali. Kedua menerjemahkan karya-karya filsuf barat ke dalam bahasa Arab, dan ketiga adalah membuat tema-tema baru tentang filsafat.[i][i] Dari tiga gerakan ini, Shaliba masuk dalam gerakan pertama yang berusaha keras memperkenalkan khazanah filsafat klasik Arab yang di antaranya adalah tiga tokoh tadi.

Abu al-‘Ala al-Ma’arry, adalah seorang penyair yang sangat pesimis terhadap dunia. Keyakinannya yang begitu kuat tentang dunia adalah “inna al-syarr fi al-dunya ghalibun ‘ala al-khair”, sesungguhnya keburukan akan selalu menang di dunia ini. Begitu banyak faktor yang melatarbelakangi paham pesimismenya ini. Pada umur tiga tahun ia terkena penyakit yang mengakibatkan penglihatan mata kirinya menjadi hilang, dan kematian ayahnya juga telah membuat ia terpuruk dalam derita kesedihan hilangnya orang yang paling ia cintai. Sementara faktor lainnya adalah pergolakan politik kotor yang memenuhi situasi sosial pada masanya. Sedemikian pesimisnya ia mengatakan tentang dirinya “aku bagaikan sayap yang patah, sehingga aku tak mampu bangkit…” Ungkapan ini menggambarkan ketakberdayaan al-Ma’arry karena kebutaanya. Bukan hanya itu yang membuatnya tak berdaya menghadapi dunia, karakternya yang lemah juga turut mempengaruhi pandangannya itu (295).

Kekecewaan al-Ma’arry terhadap dunia ia ekspresikan dengan anjuran untuk berzuhud, tidak memakan daging dan selibat (tidak menikah). Menurutnya, hidup ini adalah derita, bila seseorang menikah dengan lawan jenisnya dan kemudian melahirkan anak maka ia telah menambah derita hidup ini (298-300). Baginya, fitrah dunia adalah jahat dan derita. Apa yang kita idealkan tentang dunia selalu bertentangan dengan realitas yang ada. Pesimismenya menyimpulkan bahwa kematian lebih baik dari pada kehidupan dan kehancuran dibandingkan kekekalan. Hanya ada satu titik cahaya yang membuatnya tenang. Titik cahaya itu adalah imannya kepada Tuhan (301).

Selain itu, Shaliba juga memotret polemik antara al-Ghazali dengan Ibnu Rushd tentang  tiga masalah filsafat yang menyebabkan filsuf seperti al-Farabi dan Ibnu Sina dianggap kafir. Al-Ghazali mempermasalahkan duapuluh masalah filsafat, tiga di antaranya dapat membuat orang yang meyakininya menjadi kafir dan tujuhbelas yang tersisa masuk dalam wilayah bid’ah. Tiga proposisi yang membuat filsuf kafir itu adalah tentang ke-qadim-an alam (keyakinan bahwa alam tidak memiliki awal dan tidak memiliki akhir), ketakpercayaan tehadap kebangkitan jasad (jasmani) beserta perhitungannya dan keyakinan bahwa Allah tidak mengetahui kejadian-kejadian yang pertikular (365).

Ada empat argumen yang dibangun oleh para filsuf (sebagian besar) untuk membuktikan ke-qadim-an alam. Pertama, kemustahilan munculnya sesuatu yang bukan qadim (ada awal dan akhir) dari yang qadim. Dari argumen pertama dilanjutkan pada argumen kedua. Menurut para filsuf, jika Sang Pencipta yang qadim hadir lebih dahulu dibandingkan dengan alam yang qadim, seperti lebih dahulunya satu atas dua atau gerak tangan atas bayangan tangan, maka tidak mungkin yang satu qadim sementara yang lainnya bukan qadim. Yang mungkin adalah kedua-duanya itu qadim atau kedua-duanya bukan qadim, namun kesimpulan yang terakhir ini mustahil bagi Tuhan, berarti yang benar adalah kesimpulan pertama (bahwa dua-duanya qadim).  Argumen yang ketiga dan yang keempat menggunakan teori kemungkinan sebagai pembuktian atas qadimnya alam (365-369).

Al-Ghazali membantah semua argumen yang dibangun oleh para filsuf tadi dengan argumen yang filosofis dan cukup rigorus (ketat) juga. Sebagai contoh bagaimana al-Ghazali menanggapi argumen para filsuf ini adalah tanggapannya atas argumen yang pertama. Menurutnya “alam itu bukanlah qadim dan ia disebabkan oleh kehendak yang qadim. Dari kehendak yang qadim ini maka muncul alam yang bukan qadim. Jika adanya alam ini tidak bermula (qadim) maka tidak ada kehendak. Sedangkan adanya alam tidak bergantung pada kehendak yang bukan qadim melainkan pada kehendak yang qadim” (h.366). Semua perdebatan ini ditulis oleh al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah (kerancuan para filsuf) yang kemudian dikritik oleh Ibnu Rushd, filsuf dari Andalusia (Spanyol saat ini), lewat buku Tahafut al-Tahafut (kerancuan buku Tahafut al-Ghazali).

Dan tak ketinggalan, Shaliba juga menguraikan metode sejarah Ibnu Khaldun. Menurutnya, Ibnu Khaldun sangat memperhatikan ilmu tentang sejarah dan kritik sejarah namun agak menghindar dari kajian metafisika dan filsafat peripatetik (564). Di antara metode sejarah Ibnu Khaldun yang diangkat adalah teorinya tentang perkembangan masyarakat dan ‘ashabiyah (fanatisme).  Menurut Ibnu Khaldun, faktor-faktor yang melatarbelakangi adanya perkembangan adalah kondisi alam dan lingkungan, ekonomi serta faktor pribadi dan sosial (h.576).

Buku setebal 691 halaman ini membahas dengan cukup panjang lebar pemikiran filsafat tokoh-tokoh yang diangkat: Plato tentang dunia ide dan epistemologinya, Aristoteles dengan filsafat pertama, fisika dan konsepnya tentang jiwa; al-Farabi tentang hubungan Allah dengan alam, dan filsafat politiknya yang ditulis dalam buku utamanya, al-Madinah al-Fadilah (Negara Utama); Ibnu Sina tentang ontologi dan jiwa (psikologi). Karenanya dengan uraiannya yang cukup menyeluruh dalam membahas setiap tokoh, buku ini sangat layak dijadikan referensi untuk tema filsafat Islam dalam persinggungannya dengan pemikiran Yunani.

Dalam uraian yang cukup menyeluruh tentang pemikiran filsafat setiap tokoh yang dibahas, sayangnya Shaliba tidak menyertakan tokoh-tokoh lain yang juga mengisi peradaban baik di Yunani dan terlebih di dalam Islam secara menyeluruh pula. Sebut saja al-Kindi, filsuf Arab yang berasal dari wilayah timur tidak disajikan dengan menyeluruh, padahal sebagai filsuf pertama yang ada dalam Islam, perannya tidak kalah penting dengan filsuf seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Begitu juga Ibnu Tufail dan Ibnu Bajah yang berasal dari wilayah barat. Memang bila Shaliba menyajikan filsuf-filsuf ini seperti yang ia sajikan tentang al-Farabi dan lain-lain, maka hasilnya adalah buku yang berjilid-jilid. Namun, bukankah hasil itu yang ditunggu-tunggu untuk pengembangan filsafat Islam atau Arab dalam bidang filsafat. Catatan yang lain, Shaliba tidak mejelaskan dengan begitu detail bagaimana proses peralihan pemikiran Yunani ke dalam dunia Islam. Yang ia uraikan hanya proses penerjemahan besar-besaran pada awal abad ketujuh masehi hingga akhir abad kedelapan. Padahal selain uraian ini, pembaca juga mengharapkan uraian tentang peran para filsuf abad pertengahan seperti Agustinus dan Plotinus dengan neo-platonismenya. ‘Ala kulli hal, karya Shaliba ini patut disambut dengan sikap optimis bagi kebangkitan dan perkembangan filsafat dalam dunia Islam.



setstats1